Friday, February 28, 2014

CERITA 30 TAHUN YANG LALU

#sebuah kisah diatas tanah kami…
Terik..
Matahari bersinar sangat cerah. Disini, diatas sepetak tanah yang memberiku kehidupan ini, sepetak sawah yang tak seberapa namun begitu berharga. Ku baringkan badanku diatas pondok kecil yang sengaja kubangun sebagai tempat beirstirahat di saat-saat seperti ini. Pikiranku menerawang. Disini, ditanah yang tak seberapa ini aku menyandar kehidupan di umur yang telah renta. Tanah yang tak seberapa, namun bukan hal mudah untuk mendapatkannya. Butuh perjuangan yang tidak mudah. Butuh kekuatan dan kesabaran untuk setidaknya mengambil tanah ini lagi, setelah sekian tahun terusir dan terasing, serta hidup miskin diatas tanah yang kaya ini. Ceritanya bermula 30 tahun yang lalu.
***

Kampungku ini hanya sebuah kecamatan kecil dibatas kabupaten. Tanahnya datar menghampar. Selayaknya mayoritas rakyat bangsa ini, kami hidup dengan bertani. Menyandarkan hidup kami diatas tanah. Dari sana kami menghidupi keluarga, memenuhi kebutuhan sehari-hari, menyekolahkan anak-anak kami hingga mereka cerdas, dll. Semua berjalan dengan sederhana, kami hidup berdampingan satu dan lainnya, saling bahu-membahu dalam bekerja.
Namun, semua berubah pada suatu hari. Sekelompok orang disertai bapak kepala desa datang ke rumah. Tepat setelah isya.
“begini bapak, kami orang datang disini baik-baik mau bicarakan satu hal penting sama bapak..”, kata orang yang mengaku bernama Dominicus, dan bekerja di sebuah perkebunan besar milik Negara.
“oh iya, memang ada hal penting apa??? Kita ini cuma orang biasa bapak, atau kita orang punya salah bapak???”, Tanyaku sedikit cemas dengan kedatangan orang tak diundang ini.
Setelah itu, dia mulai menjelaskan tentang keinginan perusahaannya untuk menyewa tanah di kecamatan kami. Mereka ingin membuat sebuah perkebunan kelapa sawit yang luas lengkap dengan pabriknya. Dia menggambarkan kalau di kebun sawit itu nanti juga pasti akan mempekerjakan masyarakat desa kami, dia bilang, lebih enak jadi buruh. Gajinya bulanan. Kalau bertani, gajinya hanya setiap panen, itu pun kalau panen berhasil.
“tenang bapak, ini cuma 25 tahun saja. Habis itu, bapak silahkan ambil lagi tanah bapak. Dengan adanya pabrik ini, kita akan membangun kecamatan ini, bapak sekalian bias kerja di kebun dan pabrik, dan dapat gaji setiap bulan”, katanya
Dengan rayuan gombal yang seperti itu, sebagian besar masyarakat desa menerimanya, walau pun ada juga yang menolak. Namun yang menolak tak bertahan lama. Sebab, entah karena apa mereka tiba-tiba menerima. Ada yang bilang mereka kena ancam oleh preman.
Demikian, tidak lama kemudian buldozer-buldozer itu datang meratakan sawah tanah kami. Pabrik dibangun, bibit kelapa sawit ditanam. Tapi janji menjadikan kami tenaga kerja tak kunjung datang. Setelah sekian lama, berhembus kabar bahwa mereka cuma mengambil sebagian kecil masyarakat desa kami, itu pun hanya dengan gaji yang sangat rendah, sehingga sebagian mereka memilih untuk berhenti. Jelas, kami merasa tertipu. Sumber kehidupan kini hilang. Sebagian dari kami untuk melangsungkan hidup memilih menjadi TKI atau buruh tambang diluar kota. Sedang mereka yang bertaham, meyaambung hidup dengan mencari sayuran digunung, lantas menjualnya dipasar untuk membeli beras. Padahal dahulu kami tak perlu membeli beras. Anak-anak kami banyak yang putus sekolah. Mana mampu kami membayar sekolah, sedang untuk makan dan hidup saja susah. Kalau pun ada yang bersekolah, biayanya didapat dari hasil bekerja sebagai penambang atau sebagai buruh bangunan. Tak ada kehidupan yang diberikan oleh perusahaan kelapa sawit yang sebenarnya milik Negara itu. Minyak yang mereka hasilkan tiap harinya hilang entah kemana. Kabar yang terdengar, minyak itu di ekspor sebab minyak itu adalah minyak kualitas satu. Sedang yang kami dapat hanya minyak kotor yang berwarna hitam dan tak layak pakai. Setiap hari, yang kami lihat hanya truk-truk besar yang melintas depan rumah kami bermuatan buah sawit dang diangkut dari kebun ke pabrik. Truk-truk besar yang merobohkan aspal depan rumah kami, dan perusahaan sama sekali tak terlihat memiliki niat untuk memperbaikinya. Truk-truk besar yang membawa kebisingan setiap mereka lewat. Sangat jelas, bahwa kedatangan perusahaan ini bukan membawa berkah bagi kami, namun membawa bencana. Tak ada kehidupan yang dia beri, hanya perampasan yang tidak berakhir. Semua hendak mereka ambil, termasuk isi perut yang sudah keroncongan karena lapar ini.
#25 tahun menjelang
Saat yang telah din anti-nanti telah tiba. Saat dimana kami dapat mengambil kembali tanah-tanah kami. Teman-teman yang sempat merantau untuk memenuhi kebutuhannya datang lagi untuk tanah mereka. Tapi apa yang terjadi, bukannya pergi dari desa kami, perusahaan itu masih tetap saja berproduksi. Seolah-olah tidak ada apa-apa. Kami yang bingung mendatangi pejabat desa, ternyata mereka telah memperpanjang kembali masa sewa tanah kami. Jelas kami berang. Kami tidak merasa memperpanjang sewa tanah itu, apalagi mendapat uang sewa. Emosi meluap tak tertahan, kami bersama-sama mendatangi pejabaat perusahaan. Tapi hasilnya nihil. Dengan segala cara kami mencoba menghalangi produksi, termasuk dengan cara-cara yang sedikit keras. Hasilnya, tak lama kemudian brimob dan kepolisian berdatangan. Mengamankan, setidaknya itu kata mereka, mungkin tepat kalau yang mereka maksudkan adalah mengamankan kepentingan perusahaan. Beberapa kali bentrok terjadi, tak terhitung beraapa butir peluru terlepas dari senapan milik para brimob yang mengakibatkan teman-teman kami berjatuhan bersimbah darah. Tak jarang kami harus bergerilya dan tidur di sawah atau kebun sawit demi mengamankan diri dari preman dan briomob yang terus mengintimidasi.
Hal mencekam terus berlanjut, hingga suatu waktu ada beberapa orang yang datang dari kota mengunjungi kami. Mereka bercerita pada kami tentang mengapa persoalan yang kami alami ini bisa terjadi. Dan mereka menunjukkan kepada kami tentang arti penting tanah dan perjuangan untuk merebut kembali dengan cara-cara yang juga pernah diguanakan oleh orang-orang lain dibeberapa daerah yang mengalami hal yang sama seperti kami. Berorganisasi. Demikian yang mereka inginkan untuk kami lakukan.
“sudara-sudara sekalian, kita punya lawan, perusahaan sawit yang rampas kita punya tanah itu punya Negara, mereka punya senjata, mereka punya organisasi yang rapi untuk merampas dan mengambil sudara-sudara punya tanah. Lantas, jika sudara-sudara sekalian berjuang carut marut tidak bersatu dan berorganisasi seperti juga mereka, bagaimana bisa menang??? Walaupun mereka punya senjata, tapi kalau kita bersatu dan berorganisasi, maka sudara-sudara pasti bisa ambil lagi sudara-sudara punya tanah”, kata Adrianus, pimpinan mereka.
Sebagian besar dari kami sepakat, sebagian lainnya tidak percaya. Setalah itu, kami yang percaya pada akhirnya memilih membangun sebuah serikat tani sebagai organisasi perjuangan kami. Organisasi yang akan jadi alat bagi kami untuk merebut kembali tanah-tanah kami yang terampas, setidaknya itu yang Adrianus katakan. Setelah itu, setiap pekan mereka datang untuk membantu kami dalam kelola organisasi kami yang masih muda ini. Tapi bukan tanpa halangan, sebab kabar serikat tani kami sampai juga ditelinga para pejabat pemerintah dan pabrik. Maka seringkali aparat polisi mendatangi rumah datang untuk menyuruh kami membubarkan organisasi kami, tidak jarang disertai dengan ancaman dan intimidasi. Adrianus dkk mereka tuduh provokator. Namun, kami mempertahankan mereka. Bagi kami, mereka lebih dari keluarga. Sebab, mereka mau berjuang bersama kami walaupun mereka tak mendapat keuntungan apa-apa. Bahkan sebaliknya, mereka malah mendapat intimidasi dan bahkan ada yang sempat ditahan oleh aparat. Tapi, mereka tidak jera mendamping kami.
Sekian tahun berselang, organisasi kami menjadi semakin besar. Anggota organisasi semakin banyak. Isu perampasan tanah kami pun sudah sampai dipemerintah nasional, semua berkat aksi-aksi massa yang serikat tani lakukan, baik di pemerintah kabupaten maupun pemerintah provinsi. Buktinya, telah beberapa kali dibentuk tim untuk penyelesaian konflik. Disaat yang sama, perusahaan juga mengalami kesulitan finansial. Berkat organisasi, keyakinan untuk mendapat tanah kami kembali semakin besar dan mulai muncul semakin nyata. Puncaknya, saat pabrik melakukan peremajaan pohon sawit, dengan hasil kesepakatan serikat tani, kami melakukan pengambil alihan lahan. Dan kembali menanam padi disana. Beberapa kali masih juga terjadi intimidasi yang dilakukan oleh perusahaan dengan memperhadapkan kami dengan buruh pabrik atau juga dengan aparat keamanan. Terkadang juga kembali terjadi penembakan oleh aparat. Tapi isu itu malah menjadi boomerang bagi perusahaan yang semakin mendapat tekanan berkat sokongan teman-teman yang ada dikota.
***
Demikianlah, kisah perjuangan yang panjang demi sumber kehidupan ini. Perjuangan yang panjang, namun belum usai. Sebab pabrik masih belum angkat kaki dari sini. Mereka masih melakukan segala cara untuk mengambil kembali lahan kami. Tapi kami tak gentar. Kami yakin, dengan berorganisasi kami mampu melawan mereka. Sebab, dengan berorganisasi kami menjadi tak sendiri. Dan tanah yang telah kami dapat dengan tetesan darah ini, tidak akan kami lepas apapun yang terjadi. Pesan nenek moyang kami yang kami pegang teguh, “lebih baik mati berdarah dari pada mati kelaparan”.

HIDUP PERJUANGAN RAKYAT..!!!!

3 comments:

  1. Wow. Frontal. Tapi bukan itu yang menarik perhatian ku, Naratologi nya belum membawa pembaca untuk terhanyut dalam bacaan. Bisa dikembangkan lagi.

    ReplyDelete
  2. Mantap bung ,,terus berproses.!!!

    ReplyDelete

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Friday, February 28, 2014

CERITA 30 TAHUN YANG LALU

#sebuah kisah diatas tanah kami…
Terik..
Matahari bersinar sangat cerah. Disini, diatas sepetak tanah yang memberiku kehidupan ini, sepetak sawah yang tak seberapa namun begitu berharga. Ku baringkan badanku diatas pondok kecil yang sengaja kubangun sebagai tempat beirstirahat di saat-saat seperti ini. Pikiranku menerawang. Disini, ditanah yang tak seberapa ini aku menyandar kehidupan di umur yang telah renta. Tanah yang tak seberapa, namun bukan hal mudah untuk mendapatkannya. Butuh perjuangan yang tidak mudah. Butuh kekuatan dan kesabaran untuk setidaknya mengambil tanah ini lagi, setelah sekian tahun terusir dan terasing, serta hidup miskin diatas tanah yang kaya ini. Ceritanya bermula 30 tahun yang lalu.
***

Kampungku ini hanya sebuah kecamatan kecil dibatas kabupaten. Tanahnya datar menghampar. Selayaknya mayoritas rakyat bangsa ini, kami hidup dengan bertani. Menyandarkan hidup kami diatas tanah. Dari sana kami menghidupi keluarga, memenuhi kebutuhan sehari-hari, menyekolahkan anak-anak kami hingga mereka cerdas, dll. Semua berjalan dengan sederhana, kami hidup berdampingan satu dan lainnya, saling bahu-membahu dalam bekerja.
Namun, semua berubah pada suatu hari. Sekelompok orang disertai bapak kepala desa datang ke rumah. Tepat setelah isya.
“begini bapak, kami orang datang disini baik-baik mau bicarakan satu hal penting sama bapak..”, kata orang yang mengaku bernama Dominicus, dan bekerja di sebuah perkebunan besar milik Negara.
“oh iya, memang ada hal penting apa??? Kita ini cuma orang biasa bapak, atau kita orang punya salah bapak???”, Tanyaku sedikit cemas dengan kedatangan orang tak diundang ini.
Setelah itu, dia mulai menjelaskan tentang keinginan perusahaannya untuk menyewa tanah di kecamatan kami. Mereka ingin membuat sebuah perkebunan kelapa sawit yang luas lengkap dengan pabriknya. Dia menggambarkan kalau di kebun sawit itu nanti juga pasti akan mempekerjakan masyarakat desa kami, dia bilang, lebih enak jadi buruh. Gajinya bulanan. Kalau bertani, gajinya hanya setiap panen, itu pun kalau panen berhasil.
“tenang bapak, ini cuma 25 tahun saja. Habis itu, bapak silahkan ambil lagi tanah bapak. Dengan adanya pabrik ini, kita akan membangun kecamatan ini, bapak sekalian bias kerja di kebun dan pabrik, dan dapat gaji setiap bulan”, katanya
Dengan rayuan gombal yang seperti itu, sebagian besar masyarakat desa menerimanya, walau pun ada juga yang menolak. Namun yang menolak tak bertahan lama. Sebab, entah karena apa mereka tiba-tiba menerima. Ada yang bilang mereka kena ancam oleh preman.
Demikian, tidak lama kemudian buldozer-buldozer itu datang meratakan sawah tanah kami. Pabrik dibangun, bibit kelapa sawit ditanam. Tapi janji menjadikan kami tenaga kerja tak kunjung datang. Setelah sekian lama, berhembus kabar bahwa mereka cuma mengambil sebagian kecil masyarakat desa kami, itu pun hanya dengan gaji yang sangat rendah, sehingga sebagian mereka memilih untuk berhenti. Jelas, kami merasa tertipu. Sumber kehidupan kini hilang. Sebagian dari kami untuk melangsungkan hidup memilih menjadi TKI atau buruh tambang diluar kota. Sedang mereka yang bertaham, meyaambung hidup dengan mencari sayuran digunung, lantas menjualnya dipasar untuk membeli beras. Padahal dahulu kami tak perlu membeli beras. Anak-anak kami banyak yang putus sekolah. Mana mampu kami membayar sekolah, sedang untuk makan dan hidup saja susah. Kalau pun ada yang bersekolah, biayanya didapat dari hasil bekerja sebagai penambang atau sebagai buruh bangunan. Tak ada kehidupan yang diberikan oleh perusahaan kelapa sawit yang sebenarnya milik Negara itu. Minyak yang mereka hasilkan tiap harinya hilang entah kemana. Kabar yang terdengar, minyak itu di ekspor sebab minyak itu adalah minyak kualitas satu. Sedang yang kami dapat hanya minyak kotor yang berwarna hitam dan tak layak pakai. Setiap hari, yang kami lihat hanya truk-truk besar yang melintas depan rumah kami bermuatan buah sawit dang diangkut dari kebun ke pabrik. Truk-truk besar yang merobohkan aspal depan rumah kami, dan perusahaan sama sekali tak terlihat memiliki niat untuk memperbaikinya. Truk-truk besar yang membawa kebisingan setiap mereka lewat. Sangat jelas, bahwa kedatangan perusahaan ini bukan membawa berkah bagi kami, namun membawa bencana. Tak ada kehidupan yang dia beri, hanya perampasan yang tidak berakhir. Semua hendak mereka ambil, termasuk isi perut yang sudah keroncongan karena lapar ini.
#25 tahun menjelang
Saat yang telah din anti-nanti telah tiba. Saat dimana kami dapat mengambil kembali tanah-tanah kami. Teman-teman yang sempat merantau untuk memenuhi kebutuhannya datang lagi untuk tanah mereka. Tapi apa yang terjadi, bukannya pergi dari desa kami, perusahaan itu masih tetap saja berproduksi. Seolah-olah tidak ada apa-apa. Kami yang bingung mendatangi pejabat desa, ternyata mereka telah memperpanjang kembali masa sewa tanah kami. Jelas kami berang. Kami tidak merasa memperpanjang sewa tanah itu, apalagi mendapat uang sewa. Emosi meluap tak tertahan, kami bersama-sama mendatangi pejabaat perusahaan. Tapi hasilnya nihil. Dengan segala cara kami mencoba menghalangi produksi, termasuk dengan cara-cara yang sedikit keras. Hasilnya, tak lama kemudian brimob dan kepolisian berdatangan. Mengamankan, setidaknya itu kata mereka, mungkin tepat kalau yang mereka maksudkan adalah mengamankan kepentingan perusahaan. Beberapa kali bentrok terjadi, tak terhitung beraapa butir peluru terlepas dari senapan milik para brimob yang mengakibatkan teman-teman kami berjatuhan bersimbah darah. Tak jarang kami harus bergerilya dan tidur di sawah atau kebun sawit demi mengamankan diri dari preman dan briomob yang terus mengintimidasi.
Hal mencekam terus berlanjut, hingga suatu waktu ada beberapa orang yang datang dari kota mengunjungi kami. Mereka bercerita pada kami tentang mengapa persoalan yang kami alami ini bisa terjadi. Dan mereka menunjukkan kepada kami tentang arti penting tanah dan perjuangan untuk merebut kembali dengan cara-cara yang juga pernah diguanakan oleh orang-orang lain dibeberapa daerah yang mengalami hal yang sama seperti kami. Berorganisasi. Demikian yang mereka inginkan untuk kami lakukan.
“sudara-sudara sekalian, kita punya lawan, perusahaan sawit yang rampas kita punya tanah itu punya Negara, mereka punya senjata, mereka punya organisasi yang rapi untuk merampas dan mengambil sudara-sudara punya tanah. Lantas, jika sudara-sudara sekalian berjuang carut marut tidak bersatu dan berorganisasi seperti juga mereka, bagaimana bisa menang??? Walaupun mereka punya senjata, tapi kalau kita bersatu dan berorganisasi, maka sudara-sudara pasti bisa ambil lagi sudara-sudara punya tanah”, kata Adrianus, pimpinan mereka.
Sebagian besar dari kami sepakat, sebagian lainnya tidak percaya. Setalah itu, kami yang percaya pada akhirnya memilih membangun sebuah serikat tani sebagai organisasi perjuangan kami. Organisasi yang akan jadi alat bagi kami untuk merebut kembali tanah-tanah kami yang terampas, setidaknya itu yang Adrianus katakan. Setelah itu, setiap pekan mereka datang untuk membantu kami dalam kelola organisasi kami yang masih muda ini. Tapi bukan tanpa halangan, sebab kabar serikat tani kami sampai juga ditelinga para pejabat pemerintah dan pabrik. Maka seringkali aparat polisi mendatangi rumah datang untuk menyuruh kami membubarkan organisasi kami, tidak jarang disertai dengan ancaman dan intimidasi. Adrianus dkk mereka tuduh provokator. Namun, kami mempertahankan mereka. Bagi kami, mereka lebih dari keluarga. Sebab, mereka mau berjuang bersama kami walaupun mereka tak mendapat keuntungan apa-apa. Bahkan sebaliknya, mereka malah mendapat intimidasi dan bahkan ada yang sempat ditahan oleh aparat. Tapi, mereka tidak jera mendamping kami.
Sekian tahun berselang, organisasi kami menjadi semakin besar. Anggota organisasi semakin banyak. Isu perampasan tanah kami pun sudah sampai dipemerintah nasional, semua berkat aksi-aksi massa yang serikat tani lakukan, baik di pemerintah kabupaten maupun pemerintah provinsi. Buktinya, telah beberapa kali dibentuk tim untuk penyelesaian konflik. Disaat yang sama, perusahaan juga mengalami kesulitan finansial. Berkat organisasi, keyakinan untuk mendapat tanah kami kembali semakin besar dan mulai muncul semakin nyata. Puncaknya, saat pabrik melakukan peremajaan pohon sawit, dengan hasil kesepakatan serikat tani, kami melakukan pengambil alihan lahan. Dan kembali menanam padi disana. Beberapa kali masih juga terjadi intimidasi yang dilakukan oleh perusahaan dengan memperhadapkan kami dengan buruh pabrik atau juga dengan aparat keamanan. Terkadang juga kembali terjadi penembakan oleh aparat. Tapi isu itu malah menjadi boomerang bagi perusahaan yang semakin mendapat tekanan berkat sokongan teman-teman yang ada dikota.
***
Demikianlah, kisah perjuangan yang panjang demi sumber kehidupan ini. Perjuangan yang panjang, namun belum usai. Sebab pabrik masih belum angkat kaki dari sini. Mereka masih melakukan segala cara untuk mengambil kembali lahan kami. Tapi kami tak gentar. Kami yakin, dengan berorganisasi kami mampu melawan mereka. Sebab, dengan berorganisasi kami menjadi tak sendiri. Dan tanah yang telah kami dapat dengan tetesan darah ini, tidak akan kami lepas apapun yang terjadi. Pesan nenek moyang kami yang kami pegang teguh, “lebih baik mati berdarah dari pada mati kelaparan”.

HIDUP PERJUANGAN RAKYAT..!!!!

3 comments:

  1. Wow. Frontal. Tapi bukan itu yang menarik perhatian ku, Naratologi nya belum membawa pembaca untuk terhanyut dalam bacaan. Bisa dikembangkan lagi.

    ReplyDelete
  2. Mantap bung ,,terus berproses.!!!

    ReplyDelete

Friday, February 28, 2014

CERITA 30 TAHUN YANG LALU

#sebuah kisah diatas tanah kami…
Terik..
Matahari bersinar sangat cerah. Disini, diatas sepetak tanah yang memberiku kehidupan ini, sepetak sawah yang tak seberapa namun begitu berharga. Ku baringkan badanku diatas pondok kecil yang sengaja kubangun sebagai tempat beirstirahat di saat-saat seperti ini. Pikiranku menerawang. Disini, ditanah yang tak seberapa ini aku menyandar kehidupan di umur yang telah renta. Tanah yang tak seberapa, namun bukan hal mudah untuk mendapatkannya. Butuh perjuangan yang tidak mudah. Butuh kekuatan dan kesabaran untuk setidaknya mengambil tanah ini lagi, setelah sekian tahun terusir dan terasing, serta hidup miskin diatas tanah yang kaya ini. Ceritanya bermula 30 tahun yang lalu.
***

Kampungku ini hanya sebuah kecamatan kecil dibatas kabupaten. Tanahnya datar menghampar. Selayaknya mayoritas rakyat bangsa ini, kami hidup dengan bertani. Menyandarkan hidup kami diatas tanah. Dari sana kami menghidupi keluarga, memenuhi kebutuhan sehari-hari, menyekolahkan anak-anak kami hingga mereka cerdas, dll. Semua berjalan dengan sederhana, kami hidup berdampingan satu dan lainnya, saling bahu-membahu dalam bekerja.
Namun, semua berubah pada suatu hari. Sekelompok orang disertai bapak kepala desa datang ke rumah. Tepat setelah isya.
“begini bapak, kami orang datang disini baik-baik mau bicarakan satu hal penting sama bapak..”, kata orang yang mengaku bernama Dominicus, dan bekerja di sebuah perkebunan besar milik Negara.
“oh iya, memang ada hal penting apa??? Kita ini cuma orang biasa bapak, atau kita orang punya salah bapak???”, Tanyaku sedikit cemas dengan kedatangan orang tak diundang ini.
Setelah itu, dia mulai menjelaskan tentang keinginan perusahaannya untuk menyewa tanah di kecamatan kami. Mereka ingin membuat sebuah perkebunan kelapa sawit yang luas lengkap dengan pabriknya. Dia menggambarkan kalau di kebun sawit itu nanti juga pasti akan mempekerjakan masyarakat desa kami, dia bilang, lebih enak jadi buruh. Gajinya bulanan. Kalau bertani, gajinya hanya setiap panen, itu pun kalau panen berhasil.
“tenang bapak, ini cuma 25 tahun saja. Habis itu, bapak silahkan ambil lagi tanah bapak. Dengan adanya pabrik ini, kita akan membangun kecamatan ini, bapak sekalian bias kerja di kebun dan pabrik, dan dapat gaji setiap bulan”, katanya
Dengan rayuan gombal yang seperti itu, sebagian besar masyarakat desa menerimanya, walau pun ada juga yang menolak. Namun yang menolak tak bertahan lama. Sebab, entah karena apa mereka tiba-tiba menerima. Ada yang bilang mereka kena ancam oleh preman.
Demikian, tidak lama kemudian buldozer-buldozer itu datang meratakan sawah tanah kami. Pabrik dibangun, bibit kelapa sawit ditanam. Tapi janji menjadikan kami tenaga kerja tak kunjung datang. Setelah sekian lama, berhembus kabar bahwa mereka cuma mengambil sebagian kecil masyarakat desa kami, itu pun hanya dengan gaji yang sangat rendah, sehingga sebagian mereka memilih untuk berhenti. Jelas, kami merasa tertipu. Sumber kehidupan kini hilang. Sebagian dari kami untuk melangsungkan hidup memilih menjadi TKI atau buruh tambang diluar kota. Sedang mereka yang bertaham, meyaambung hidup dengan mencari sayuran digunung, lantas menjualnya dipasar untuk membeli beras. Padahal dahulu kami tak perlu membeli beras. Anak-anak kami banyak yang putus sekolah. Mana mampu kami membayar sekolah, sedang untuk makan dan hidup saja susah. Kalau pun ada yang bersekolah, biayanya didapat dari hasil bekerja sebagai penambang atau sebagai buruh bangunan. Tak ada kehidupan yang diberikan oleh perusahaan kelapa sawit yang sebenarnya milik Negara itu. Minyak yang mereka hasilkan tiap harinya hilang entah kemana. Kabar yang terdengar, minyak itu di ekspor sebab minyak itu adalah minyak kualitas satu. Sedang yang kami dapat hanya minyak kotor yang berwarna hitam dan tak layak pakai. Setiap hari, yang kami lihat hanya truk-truk besar yang melintas depan rumah kami bermuatan buah sawit dang diangkut dari kebun ke pabrik. Truk-truk besar yang merobohkan aspal depan rumah kami, dan perusahaan sama sekali tak terlihat memiliki niat untuk memperbaikinya. Truk-truk besar yang membawa kebisingan setiap mereka lewat. Sangat jelas, bahwa kedatangan perusahaan ini bukan membawa berkah bagi kami, namun membawa bencana. Tak ada kehidupan yang dia beri, hanya perampasan yang tidak berakhir. Semua hendak mereka ambil, termasuk isi perut yang sudah keroncongan karena lapar ini.
#25 tahun menjelang
Saat yang telah din anti-nanti telah tiba. Saat dimana kami dapat mengambil kembali tanah-tanah kami. Teman-teman yang sempat merantau untuk memenuhi kebutuhannya datang lagi untuk tanah mereka. Tapi apa yang terjadi, bukannya pergi dari desa kami, perusahaan itu masih tetap saja berproduksi. Seolah-olah tidak ada apa-apa. Kami yang bingung mendatangi pejabat desa, ternyata mereka telah memperpanjang kembali masa sewa tanah kami. Jelas kami berang. Kami tidak merasa memperpanjang sewa tanah itu, apalagi mendapat uang sewa. Emosi meluap tak tertahan, kami bersama-sama mendatangi pejabaat perusahaan. Tapi hasilnya nihil. Dengan segala cara kami mencoba menghalangi produksi, termasuk dengan cara-cara yang sedikit keras. Hasilnya, tak lama kemudian brimob dan kepolisian berdatangan. Mengamankan, setidaknya itu kata mereka, mungkin tepat kalau yang mereka maksudkan adalah mengamankan kepentingan perusahaan. Beberapa kali bentrok terjadi, tak terhitung beraapa butir peluru terlepas dari senapan milik para brimob yang mengakibatkan teman-teman kami berjatuhan bersimbah darah. Tak jarang kami harus bergerilya dan tidur di sawah atau kebun sawit demi mengamankan diri dari preman dan briomob yang terus mengintimidasi.
Hal mencekam terus berlanjut, hingga suatu waktu ada beberapa orang yang datang dari kota mengunjungi kami. Mereka bercerita pada kami tentang mengapa persoalan yang kami alami ini bisa terjadi. Dan mereka menunjukkan kepada kami tentang arti penting tanah dan perjuangan untuk merebut kembali dengan cara-cara yang juga pernah diguanakan oleh orang-orang lain dibeberapa daerah yang mengalami hal yang sama seperti kami. Berorganisasi. Demikian yang mereka inginkan untuk kami lakukan.
“sudara-sudara sekalian, kita punya lawan, perusahaan sawit yang rampas kita punya tanah itu punya Negara, mereka punya senjata, mereka punya organisasi yang rapi untuk merampas dan mengambil sudara-sudara punya tanah. Lantas, jika sudara-sudara sekalian berjuang carut marut tidak bersatu dan berorganisasi seperti juga mereka, bagaimana bisa menang??? Walaupun mereka punya senjata, tapi kalau kita bersatu dan berorganisasi, maka sudara-sudara pasti bisa ambil lagi sudara-sudara punya tanah”, kata Adrianus, pimpinan mereka.
Sebagian besar dari kami sepakat, sebagian lainnya tidak percaya. Setalah itu, kami yang percaya pada akhirnya memilih membangun sebuah serikat tani sebagai organisasi perjuangan kami. Organisasi yang akan jadi alat bagi kami untuk merebut kembali tanah-tanah kami yang terampas, setidaknya itu yang Adrianus katakan. Setelah itu, setiap pekan mereka datang untuk membantu kami dalam kelola organisasi kami yang masih muda ini. Tapi bukan tanpa halangan, sebab kabar serikat tani kami sampai juga ditelinga para pejabat pemerintah dan pabrik. Maka seringkali aparat polisi mendatangi rumah datang untuk menyuruh kami membubarkan organisasi kami, tidak jarang disertai dengan ancaman dan intimidasi. Adrianus dkk mereka tuduh provokator. Namun, kami mempertahankan mereka. Bagi kami, mereka lebih dari keluarga. Sebab, mereka mau berjuang bersama kami walaupun mereka tak mendapat keuntungan apa-apa. Bahkan sebaliknya, mereka malah mendapat intimidasi dan bahkan ada yang sempat ditahan oleh aparat. Tapi, mereka tidak jera mendamping kami.
Sekian tahun berselang, organisasi kami menjadi semakin besar. Anggota organisasi semakin banyak. Isu perampasan tanah kami pun sudah sampai dipemerintah nasional, semua berkat aksi-aksi massa yang serikat tani lakukan, baik di pemerintah kabupaten maupun pemerintah provinsi. Buktinya, telah beberapa kali dibentuk tim untuk penyelesaian konflik. Disaat yang sama, perusahaan juga mengalami kesulitan finansial. Berkat organisasi, keyakinan untuk mendapat tanah kami kembali semakin besar dan mulai muncul semakin nyata. Puncaknya, saat pabrik melakukan peremajaan pohon sawit, dengan hasil kesepakatan serikat tani, kami melakukan pengambil alihan lahan. Dan kembali menanam padi disana. Beberapa kali masih juga terjadi intimidasi yang dilakukan oleh perusahaan dengan memperhadapkan kami dengan buruh pabrik atau juga dengan aparat keamanan. Terkadang juga kembali terjadi penembakan oleh aparat. Tapi isu itu malah menjadi boomerang bagi perusahaan yang semakin mendapat tekanan berkat sokongan teman-teman yang ada dikota.
***
Demikianlah, kisah perjuangan yang panjang demi sumber kehidupan ini. Perjuangan yang panjang, namun belum usai. Sebab pabrik masih belum angkat kaki dari sini. Mereka masih melakukan segala cara untuk mengambil kembali lahan kami. Tapi kami tak gentar. Kami yakin, dengan berorganisasi kami mampu melawan mereka. Sebab, dengan berorganisasi kami menjadi tak sendiri. Dan tanah yang telah kami dapat dengan tetesan darah ini, tidak akan kami lepas apapun yang terjadi. Pesan nenek moyang kami yang kami pegang teguh, “lebih baik mati berdarah dari pada mati kelaparan”.

HIDUP PERJUANGAN RAKYAT..!!!!

3 comments:

  1. Wow. Frontal. Tapi bukan itu yang menarik perhatian ku, Naratologi nya belum membawa pembaca untuk terhanyut dalam bacaan. Bisa dikembangkan lagi.

    ReplyDelete
  2. Mantap bung ,,terus berproses.!!!

    ReplyDelete