#sebuah kisah diatas tanah kami…
Terik..
Matahari bersinar sangat cerah. Disini,
diatas sepetak tanah yang memberiku kehidupan ini, sepetak sawah yang tak
seberapa namun begitu berharga. Ku baringkan badanku diatas pondok kecil yang sengaja
kubangun sebagai tempat beirstirahat di saat-saat seperti ini. Pikiranku menerawang.
Disini, ditanah yang tak seberapa ini aku menyandar kehidupan di umur yang
telah renta. Tanah yang tak seberapa, namun bukan hal mudah untuk mendapatkannya.
Butuh perjuangan yang tidak mudah. Butuh kekuatan dan kesabaran untuk
setidaknya mengambil tanah ini lagi, setelah sekian tahun terusir dan terasing,
serta hidup miskin diatas tanah yang kaya ini. Ceritanya bermula 30 tahun yang
lalu.
***
Namun, semua berubah pada suatu
hari. Sekelompok orang disertai bapak kepala desa datang ke rumah. Tepat setelah
isya.
“begini bapak, kami orang datang
disini baik-baik mau bicarakan satu hal penting sama bapak..”, kata orang yang
mengaku bernama Dominicus, dan bekerja di sebuah perkebunan besar milik Negara.
“oh iya, memang ada hal penting
apa??? Kita ini cuma orang biasa bapak, atau kita orang punya salah bapak???”, Tanyaku
sedikit cemas dengan kedatangan orang tak diundang ini.
Setelah itu, dia mulai
menjelaskan tentang keinginan perusahaannya untuk menyewa tanah di kecamatan
kami. Mereka ingin membuat sebuah perkebunan kelapa sawit yang luas lengkap
dengan pabriknya. Dia menggambarkan kalau di kebun sawit itu nanti juga pasti
akan mempekerjakan masyarakat desa kami, dia bilang, lebih enak jadi buruh. Gajinya
bulanan. Kalau bertani, gajinya hanya setiap panen, itu pun kalau panen
berhasil.
“tenang bapak, ini cuma 25 tahun
saja. Habis itu, bapak silahkan ambil lagi tanah bapak. Dengan adanya pabrik
ini, kita akan membangun kecamatan ini, bapak sekalian bias kerja di kebun dan
pabrik, dan dapat gaji setiap bulan”, katanya
Dengan rayuan gombal yang seperti
itu, sebagian besar masyarakat desa menerimanya, walau pun ada juga yang
menolak. Namun yang menolak tak bertahan lama. Sebab, entah karena apa mereka
tiba-tiba menerima. Ada yang bilang mereka kena ancam oleh preman.
Demikian, tidak lama kemudian buldozer-buldozer
itu datang meratakan sawah tanah kami. Pabrik dibangun, bibit kelapa sawit
ditanam. Tapi janji menjadikan kami tenaga kerja tak kunjung datang. Setelah sekian
lama, berhembus kabar bahwa mereka cuma mengambil sebagian kecil masyarakat
desa kami, itu pun hanya dengan gaji yang sangat rendah, sehingga sebagian
mereka memilih untuk berhenti. Jelas, kami merasa tertipu. Sumber kehidupan
kini hilang. Sebagian dari kami untuk melangsungkan hidup memilih menjadi TKI
atau buruh tambang diluar kota. Sedang mereka yang bertaham, meyaambung hidup
dengan mencari sayuran digunung, lantas menjualnya dipasar untuk membeli beras.
Padahal dahulu kami tak perlu membeli beras. Anak-anak kami banyak yang putus
sekolah. Mana mampu kami membayar sekolah, sedang untuk makan dan hidup saja
susah. Kalau pun ada yang bersekolah, biayanya didapat dari hasil bekerja
sebagai penambang atau sebagai buruh bangunan. Tak ada kehidupan yang diberikan
oleh perusahaan kelapa sawit yang sebenarnya milik Negara itu. Minyak yang
mereka hasilkan tiap harinya hilang entah kemana. Kabar yang terdengar, minyak
itu di ekspor sebab minyak itu adalah minyak kualitas satu. Sedang yang kami
dapat hanya minyak kotor yang berwarna hitam dan tak layak pakai. Setiap hari,
yang kami lihat hanya truk-truk besar yang melintas depan rumah kami bermuatan
buah sawit dang diangkut dari kebun ke pabrik. Truk-truk besar yang merobohkan
aspal depan rumah kami, dan perusahaan sama sekali tak terlihat memiliki niat
untuk memperbaikinya. Truk-truk besar yang membawa kebisingan setiap mereka
lewat. Sangat jelas, bahwa kedatangan perusahaan ini bukan membawa berkah bagi
kami, namun membawa bencana. Tak ada kehidupan yang dia beri, hanya perampasan
yang tidak berakhir. Semua hendak mereka ambil, termasuk isi perut yang sudah
keroncongan karena lapar ini.
#25 tahun menjelang
Saat yang telah din anti-nanti
telah tiba. Saat dimana kami dapat mengambil kembali tanah-tanah kami. Teman-teman
yang sempat merantau untuk memenuhi kebutuhannya datang lagi untuk tanah mereka.
Tapi apa yang terjadi, bukannya pergi dari desa kami, perusahaan itu masih
tetap saja berproduksi. Seolah-olah tidak ada apa-apa. Kami yang bingung
mendatangi pejabat desa, ternyata mereka telah memperpanjang kembali masa sewa
tanah kami. Jelas kami berang. Kami tidak merasa memperpanjang sewa tanah itu,
apalagi mendapat uang sewa. Emosi meluap tak tertahan, kami bersama-sama
mendatangi pejabaat perusahaan. Tapi hasilnya nihil. Dengan segala cara kami
mencoba menghalangi produksi, termasuk dengan cara-cara yang sedikit keras. Hasilnya,
tak lama kemudian brimob dan kepolisian berdatangan. Mengamankan, setidaknya
itu kata mereka, mungkin tepat kalau yang mereka maksudkan adalah mengamankan
kepentingan perusahaan. Beberapa kali bentrok terjadi, tak terhitung beraapa butir
peluru terlepas dari senapan milik para brimob yang mengakibatkan teman-teman
kami berjatuhan bersimbah darah. Tak jarang kami harus bergerilya dan tidur di
sawah atau kebun sawit demi mengamankan diri dari preman dan briomob yang terus
mengintimidasi.
Hal mencekam terus berlanjut,
hingga suatu waktu ada beberapa orang yang datang dari kota mengunjungi kami. Mereka
bercerita pada kami tentang mengapa persoalan yang kami alami ini bisa terjadi.
Dan mereka menunjukkan kepada kami tentang arti penting tanah dan perjuangan untuk
merebut kembali dengan cara-cara yang juga pernah diguanakan oleh orang-orang
lain dibeberapa daerah yang mengalami hal yang sama seperti kami. Berorganisasi.
Demikian yang mereka inginkan untuk kami lakukan.
“sudara-sudara sekalian, kita punya lawan, perusahaan sawit yang
rampas kita punya tanah itu punya Negara,
mereka punya senjata, mereka punya organisasi yang rapi untuk merampas dan
mengambil sudara-sudara punya tanah. Lantas,
jika sudara-sudara sekalian berjuang carut marut tidak bersatu dan
berorganisasi seperti juga mereka, bagaimana bisa menang??? Walaupun mereka
punya senjata, tapi kalau kita bersatu dan berorganisasi, maka sudara-sudara
pasti bisa ambil lagi sudara-sudara punya
tanah”, kata Adrianus, pimpinan mereka.
Sebagian besar dari kami sepakat,
sebagian lainnya tidak percaya. Setalah itu, kami yang percaya pada akhirnya
memilih membangun sebuah serikat tani sebagai organisasi perjuangan kami. Organisasi
yang akan jadi alat bagi kami untuk merebut kembali tanah-tanah kami yang
terampas, setidaknya itu yang Adrianus katakan. Setelah itu, setiap pekan
mereka datang untuk membantu kami dalam kelola organisasi kami yang masih muda
ini. Tapi bukan tanpa halangan, sebab kabar serikat tani kami sampai juga
ditelinga para pejabat pemerintah dan pabrik. Maka seringkali aparat polisi
mendatangi rumah datang untuk menyuruh kami membubarkan organisasi kami, tidak
jarang disertai dengan ancaman dan intimidasi. Adrianus dkk mereka tuduh provokator.
Namun, kami mempertahankan mereka. Bagi kami, mereka lebih dari keluarga. Sebab,
mereka mau berjuang bersama kami walaupun mereka tak mendapat keuntungan
apa-apa. Bahkan sebaliknya, mereka malah mendapat intimidasi dan bahkan ada
yang sempat ditahan oleh aparat. Tapi, mereka tidak jera mendamping kami.
Sekian tahun berselang,
organisasi kami menjadi semakin besar. Anggota organisasi semakin banyak. Isu perampasan
tanah kami pun sudah sampai dipemerintah nasional, semua berkat aksi-aksi massa
yang serikat tani lakukan, baik di pemerintah kabupaten maupun pemerintah
provinsi. Buktinya, telah beberapa kali dibentuk tim untuk penyelesaian
konflik. Disaat yang sama, perusahaan juga mengalami kesulitan finansial. Berkat
organisasi, keyakinan untuk mendapat tanah kami kembali semakin besar dan mulai
muncul semakin nyata. Puncaknya, saat pabrik melakukan peremajaan pohon sawit,
dengan hasil kesepakatan serikat tani, kami melakukan pengambil alihan lahan. Dan
kembali menanam padi disana. Beberapa kali masih juga terjadi intimidasi yang
dilakukan oleh perusahaan dengan memperhadapkan kami dengan buruh pabrik atau
juga dengan aparat keamanan. Terkadang juga kembali terjadi penembakan oleh
aparat. Tapi isu itu malah menjadi boomerang bagi perusahaan yang semakin
mendapat tekanan berkat sokongan teman-teman yang ada dikota.
***
Demikianlah, kisah perjuangan
yang panjang demi sumber kehidupan ini. Perjuangan yang panjang, namun belum
usai. Sebab pabrik masih belum angkat kaki dari sini. Mereka masih melakukan
segala cara untuk mengambil kembali lahan kami. Tapi kami tak gentar. Kami yakin,
dengan berorganisasi kami mampu melawan mereka. Sebab, dengan berorganisasi
kami menjadi tak sendiri. Dan tanah yang telah kami dapat dengan tetesan darah
ini, tidak akan kami lepas apapun yang terjadi. Pesan nenek moyang kami yang
kami pegang teguh, “lebih baik mati
berdarah dari pada mati kelaparan”.
HIDUP PERJUANGAN RAKYAT..!!!!
Wow. Frontal. Tapi bukan itu yang menarik perhatian ku, Naratologi nya belum membawa pembaca untuk terhanyut dalam bacaan. Bisa dikembangkan lagi.
ReplyDeletemakasih masukannya..:)
ReplyDeleteMantap bung ,,terus berproses.!!!
ReplyDelete