Friday, March 7, 2014

WANITA PARUH BAYA ITU BERPAKAIAN DINAS

#sebuah tulisan di hari perempuan internasional..
Terik matahari siang itu benar-benar terasa. Bagaimana tidak, sekarang sedang musim kemarau. Wanita paruh baya itu melangkah keluar dari kantornya dengan menggunakan pakaian dinas kebanggannya. Ya, dia adalah seorang pegawai negeri disalah satu kabupaten yang masyarakatnya dominan bekerja sebagai petani. Dia tak bertani karena dia hanya seorang pendatang di kabupaten tersebut. Lagi pula dia tak bertanah. Tanah warisan orang tuanya telah habis di perebutkan keleuarga, dan dia tidak mengambil pusing. Penghasilan sebagai pegawai negeri, walaupun dengan gaji yang tidak bisa di bilang banyak, toh cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta menyekolahkan anak-anaknya, setidaknya sampai mereka sarjana. Langkah kakinya pelan keluar kantornya menanti tukang ojek untuk ke pasar, lalu pulang ke rumah.
***

ambo’*, mau k’ ke kota kluiah..”, kata gadis itu pelan.
Gadis itu adalah anak ketiga dari 4 bersaduara. Diantara ketiga saudaranya, dialah yang paling punya keinginan untuk belajar paling besar. Walaupun ayahnya memiliki tanah yang cukup luas, tapi dia ingin sekolah setinggi-tingginya. Dia tidak ingin hanya seperti orang tuanya. Dia ingin cerdas dan tentu ingin melihat dunia luar. Terang saja, di tengah budaya patriarki yang masih sangat kental di kampungnya dia dilarang oleh ambo’nya untuk ke kota. Bukan karena ambo’nya tidak mampu, tapi lebih karena dia adalah seorang gadis. Dan pada usia sepertinya, adalah usia yang sangat layak untuk segera dinikahkan, lantas jadi ibu rumah tangga yang baik yang tugasnya ‘melayani’ suami dan membantunya bekerja di sawah.
“mau ko pergi sekolah jauh-jauh di kota. Cukup mi itu sekolah mu, na lebih baik kalau menikah mako itu. Kalau ada suamimu, enak mi”, ambo’nya mulai menerangkan
Tapi dasar si gadis ini memang punya keinginan untuk bersekolah yang sangat tinggi. Lantas di bujuknya sedemikian rupa ambo’nya, dia senangkan hatinya, agar diberi izin. Dan pada akhirnya, karena rasa sayangnya yang besar, ambo’nya pun memberinya izin.
nak, kalau pergi ko sekolah di kota na menumpang dirumahnya orang,  jangan ko kasi susah yang punya rumah. Bantu-bantui kalau ada dia kerja. Baiar na suka juga kalau tinggal ko dirumahnya. Jaga dirimu baik-baik, belajar yang benar. Bukan ki orang kaya sekali na dikassi sekolah ko. Tapi, karena mau sekali ko sekolah. Kalau ada apa-apamu kabari orang tuamu dikampung”, pesan mendalam ambo’nya meneteskan air matanya. Betapa si gadis sayang pada ayahnya. Lelaki yang membesarkannya seorang diri, karena ibunya telah meninggal dunia saat dia masih duduk dibangku sekolah dasar.
***
Akhirnya wanita paruh baya itu tiba dirumahnya. Rumah yang sangat sederhana, bahkan bisa dibilang masih rumah yang setengah jadi. Bukan karena alasan apa dia dan suaminya tidak melanjutkan pembangunan rumah itu, untuk saat ini, pendapatan suami istri itu mereka fokuskan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Paling tidak, kalau anak tertuanya telah sarjana dan bekerja, dia mampu membantu mereka untuk membiayai sekolah-adik-adiknya. Saat dia tiba jam telah menunjukkan pukul 16.00, suaminya belum juga tiba dari kantor, sebab letak kantor suaminya memang cukup jauh dari rumah. Segera dia mengganti pakaian dinasnya, lantas mengambil air wudhu untuk bersegera shalat. Saat setelah shalat, dia beristirahat sejenak sebelum kembali bekerja untuk menyiapkan masakan malam untuk keluarga.
Sembari beristirahat, tak sadar imajinasinya membawanya menelusuri jejak kehidupannya. Mencoba merenungi nasib Tuhan yang dituliskan untuknya. Pikirannya berkelana ke masa lalu.
***
Dia, gadis itu menumpang disalah satu rumah kenalan orang tuannya dikota. Gadis itu sangat rajin. Membantu ibu yang punya rumah memasak, membersihkan, dan beberapa pekerjaan domestik lainnya. Dia memegang betul nasihat ambo’nya. Selain itu, dengan berbagai cara dia mencoba mencari uang sendiri. Dia tidak mau terlalu membebani ambo’nya. Sudah cukup izin yang dia dapat dari ambo’nya sebagai pemberian yang sangat berharga. Dia berusaha semampunya untuk memenuhi kebutuhan sendiri sampai nanti gelar sarjana muda dia dapatkan. Kehidupan perkotaan yang keras dihadapinya dengan keras juga. Itu membuat wataknya semakin keras. Dia mengerti, kehidupan yang keras harus dihadapi dengan keras juga. Kalau kita lemah, maka kita akan terlindas oleh kejamnya kehidupan. Berbagai pekerjaan dia kerjakan, mulai dari jadi guru privat, sampai menjadi pembanu pedagang di pasar. Tapi, satu hal yang dia jadikan pegangan teguh, bahwa pekerjaan apa pun yang dia lakukan tidak boleh mengganggi kuliahnya. Sebab, alasan utama dia menginjakkan kaki dikota adalah untuk sekolah. Dia tidak ingin mengecewakan ambo’nya. Akhirnya, itu menjadi rutinitas, kuliah, cari uang, membantu tuan rumah, dan belajar. Itu dia kerjakan secara disiplin. Walhasil, dia sarjana tepat waktu. Betapa senang hatinya. Dan lebih-lebih lagi betapa senang hati ambo’nya. Lantas, tidak lama kemudian dia lulus menjadi seorang pegawai negeri. Tapi, satu tantangan besar yang harus dia hadapi adalah penempatannya ditempat yang jauh dari kampung halaman, sebuah tempat yang ada diseberang lautan. Dan satu hal yang pasti, dia tidak pernah jauh-jauh dari kampugnya. Satu hal yang menjadi pertimbangan yang menjadi beban pikirannya adalah, tempat yang akan ditujunya ini adalah daerah yang belum lama diakui sebagai wilayah Indonesia. Tapi, kesempatan itu tidak dilewatkannya. Dengan berat hati ambo’nya lagi-lagi harus mengalah pada kerasnya watak anaknya. Diberinya si gadis uang tiket pesawat. Tapi, si gadis yang telah merasakan pedihnya hidup, mengerti betapa susahnya bertahan hidup didunia yang “menuhankan” uang. Uang tersebut diterimanya, tapi bukan untuk membeli tiket pesawat, melainkan tiket kapal laut. Sisanya dia simpan untuk kemungkinan terburuk yang bisa saja dia hadapi ditempat barunya tersebut. Berangkatlah dia ke kampung orang dengan perasaan tak karuan karena harus meninggalkan ambo serta sanak saudaranya yang lain.
Dan ditempat barunya nanti, dia akan mendapat pekerjaan yang tidak pernah dijamah oleh siapapun anggota keluarganya, atau bahkan mungkin tak pernah terpikrkan sedikitpun. Sebab dia akan menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil, pekerjaan yang membuatnya bangga.
***
Pukul 18.45, suaminya baru tiba dari shalat berjamaah di masjid. Mereka pun bercengkerama, membicarakan hal-hal yang baru mereka dapat dikantor seharian tadi. Tapi mereka merasa sepi. Anak-anak mereka semua tidak lagi tinggal dirumah. Yang tertua dan kedua ada dikota, sedang yang paling bunut ada diasrama pesantrennya. Kesepian itu membuat mereka ingat anak-anak mereka, dan yang paling jadi sorotan adalah si anak tengah. Dia anak kuliah tingkat akhir, tapi belum juga , mereka lihat tanda-tanda anak mereka itu akan segera sarjana. Maka mereka teleponlah si anak tengah itu.
“kau itu nak, kenapa begitu kuliahmu??? Apan ko sarjana itu kalau begitu terus modelmu??? Nda kasihan ko sama orang tuamu??? Lihat ko nak susahnya kita ini carikan ko uang kuliah. Sampai-sampai nda pernah meki berfikir makan daging, ka kalian ji dipikir. Urus’i kuliahmu baik-baik nak. Sarjana cepat, biar ringan-ringan lagi beban pikirannya ini orang tua mu. Ingat ko bukan ki orang kaya, dikasi sekolah ko tinggi supaya dapat ko ijazah, biar bisa kerja yang layak. Tidak jadi pesuruh berpakaian dinas kayak orang tuamu ini. Ingat nak, ini ji yang bisa mama sama bapak kasikan ko, ka tidak ada tanah ta’ kita..”, kata wanita paruh baya itu sembari menasehati anaknya yang paling bandel namun paling sedikit mau itu.
Demikianlah, wanita paruh baya yang sebentar lagi akan memasuki masa-masa senja hidupnya. Di umurnya yang sudah uzur tersebut, dia masih tetap membanting tulang bahu membahu bersama suaminya demi keberlangsungan hidup mereka serta menghidupi buah hati mereka tercinta. Dia terus bekerja, tidak pandang umurnya yang menua, kelelahan yang menggerogoti tubuhnya, atau penyakit yang sudah semakin sering menderanya.

*  = ambo’ adalah panggilan ayah dalam suku bugis

0 comments:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Friday, March 7, 2014

WANITA PARUH BAYA ITU BERPAKAIAN DINAS

#sebuah tulisan di hari perempuan internasional..
Terik matahari siang itu benar-benar terasa. Bagaimana tidak, sekarang sedang musim kemarau. Wanita paruh baya itu melangkah keluar dari kantornya dengan menggunakan pakaian dinas kebanggannya. Ya, dia adalah seorang pegawai negeri disalah satu kabupaten yang masyarakatnya dominan bekerja sebagai petani. Dia tak bertani karena dia hanya seorang pendatang di kabupaten tersebut. Lagi pula dia tak bertanah. Tanah warisan orang tuanya telah habis di perebutkan keleuarga, dan dia tidak mengambil pusing. Penghasilan sebagai pegawai negeri, walaupun dengan gaji yang tidak bisa di bilang banyak, toh cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta menyekolahkan anak-anaknya, setidaknya sampai mereka sarjana. Langkah kakinya pelan keluar kantornya menanti tukang ojek untuk ke pasar, lalu pulang ke rumah.
***

ambo’*, mau k’ ke kota kluiah..”, kata gadis itu pelan.
Gadis itu adalah anak ketiga dari 4 bersaduara. Diantara ketiga saudaranya, dialah yang paling punya keinginan untuk belajar paling besar. Walaupun ayahnya memiliki tanah yang cukup luas, tapi dia ingin sekolah setinggi-tingginya. Dia tidak ingin hanya seperti orang tuanya. Dia ingin cerdas dan tentu ingin melihat dunia luar. Terang saja, di tengah budaya patriarki yang masih sangat kental di kampungnya dia dilarang oleh ambo’nya untuk ke kota. Bukan karena ambo’nya tidak mampu, tapi lebih karena dia adalah seorang gadis. Dan pada usia sepertinya, adalah usia yang sangat layak untuk segera dinikahkan, lantas jadi ibu rumah tangga yang baik yang tugasnya ‘melayani’ suami dan membantunya bekerja di sawah.
“mau ko pergi sekolah jauh-jauh di kota. Cukup mi itu sekolah mu, na lebih baik kalau menikah mako itu. Kalau ada suamimu, enak mi”, ambo’nya mulai menerangkan
Tapi dasar si gadis ini memang punya keinginan untuk bersekolah yang sangat tinggi. Lantas di bujuknya sedemikian rupa ambo’nya, dia senangkan hatinya, agar diberi izin. Dan pada akhirnya, karena rasa sayangnya yang besar, ambo’nya pun memberinya izin.
nak, kalau pergi ko sekolah di kota na menumpang dirumahnya orang,  jangan ko kasi susah yang punya rumah. Bantu-bantui kalau ada dia kerja. Baiar na suka juga kalau tinggal ko dirumahnya. Jaga dirimu baik-baik, belajar yang benar. Bukan ki orang kaya sekali na dikassi sekolah ko. Tapi, karena mau sekali ko sekolah. Kalau ada apa-apamu kabari orang tuamu dikampung”, pesan mendalam ambo’nya meneteskan air matanya. Betapa si gadis sayang pada ayahnya. Lelaki yang membesarkannya seorang diri, karena ibunya telah meninggal dunia saat dia masih duduk dibangku sekolah dasar.
***
Akhirnya wanita paruh baya itu tiba dirumahnya. Rumah yang sangat sederhana, bahkan bisa dibilang masih rumah yang setengah jadi. Bukan karena alasan apa dia dan suaminya tidak melanjutkan pembangunan rumah itu, untuk saat ini, pendapatan suami istri itu mereka fokuskan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Paling tidak, kalau anak tertuanya telah sarjana dan bekerja, dia mampu membantu mereka untuk membiayai sekolah-adik-adiknya. Saat dia tiba jam telah menunjukkan pukul 16.00, suaminya belum juga tiba dari kantor, sebab letak kantor suaminya memang cukup jauh dari rumah. Segera dia mengganti pakaian dinasnya, lantas mengambil air wudhu untuk bersegera shalat. Saat setelah shalat, dia beristirahat sejenak sebelum kembali bekerja untuk menyiapkan masakan malam untuk keluarga.
Sembari beristirahat, tak sadar imajinasinya membawanya menelusuri jejak kehidupannya. Mencoba merenungi nasib Tuhan yang dituliskan untuknya. Pikirannya berkelana ke masa lalu.
***
Dia, gadis itu menumpang disalah satu rumah kenalan orang tuannya dikota. Gadis itu sangat rajin. Membantu ibu yang punya rumah memasak, membersihkan, dan beberapa pekerjaan domestik lainnya. Dia memegang betul nasihat ambo’nya. Selain itu, dengan berbagai cara dia mencoba mencari uang sendiri. Dia tidak mau terlalu membebani ambo’nya. Sudah cukup izin yang dia dapat dari ambo’nya sebagai pemberian yang sangat berharga. Dia berusaha semampunya untuk memenuhi kebutuhan sendiri sampai nanti gelar sarjana muda dia dapatkan. Kehidupan perkotaan yang keras dihadapinya dengan keras juga. Itu membuat wataknya semakin keras. Dia mengerti, kehidupan yang keras harus dihadapi dengan keras juga. Kalau kita lemah, maka kita akan terlindas oleh kejamnya kehidupan. Berbagai pekerjaan dia kerjakan, mulai dari jadi guru privat, sampai menjadi pembanu pedagang di pasar. Tapi, satu hal yang dia jadikan pegangan teguh, bahwa pekerjaan apa pun yang dia lakukan tidak boleh mengganggi kuliahnya. Sebab, alasan utama dia menginjakkan kaki dikota adalah untuk sekolah. Dia tidak ingin mengecewakan ambo’nya. Akhirnya, itu menjadi rutinitas, kuliah, cari uang, membantu tuan rumah, dan belajar. Itu dia kerjakan secara disiplin. Walhasil, dia sarjana tepat waktu. Betapa senang hatinya. Dan lebih-lebih lagi betapa senang hati ambo’nya. Lantas, tidak lama kemudian dia lulus menjadi seorang pegawai negeri. Tapi, satu tantangan besar yang harus dia hadapi adalah penempatannya ditempat yang jauh dari kampung halaman, sebuah tempat yang ada diseberang lautan. Dan satu hal yang pasti, dia tidak pernah jauh-jauh dari kampugnya. Satu hal yang menjadi pertimbangan yang menjadi beban pikirannya adalah, tempat yang akan ditujunya ini adalah daerah yang belum lama diakui sebagai wilayah Indonesia. Tapi, kesempatan itu tidak dilewatkannya. Dengan berat hati ambo’nya lagi-lagi harus mengalah pada kerasnya watak anaknya. Diberinya si gadis uang tiket pesawat. Tapi, si gadis yang telah merasakan pedihnya hidup, mengerti betapa susahnya bertahan hidup didunia yang “menuhankan” uang. Uang tersebut diterimanya, tapi bukan untuk membeli tiket pesawat, melainkan tiket kapal laut. Sisanya dia simpan untuk kemungkinan terburuk yang bisa saja dia hadapi ditempat barunya tersebut. Berangkatlah dia ke kampung orang dengan perasaan tak karuan karena harus meninggalkan ambo serta sanak saudaranya yang lain.
Dan ditempat barunya nanti, dia akan mendapat pekerjaan yang tidak pernah dijamah oleh siapapun anggota keluarganya, atau bahkan mungkin tak pernah terpikrkan sedikitpun. Sebab dia akan menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil, pekerjaan yang membuatnya bangga.
***
Pukul 18.45, suaminya baru tiba dari shalat berjamaah di masjid. Mereka pun bercengkerama, membicarakan hal-hal yang baru mereka dapat dikantor seharian tadi. Tapi mereka merasa sepi. Anak-anak mereka semua tidak lagi tinggal dirumah. Yang tertua dan kedua ada dikota, sedang yang paling bunut ada diasrama pesantrennya. Kesepian itu membuat mereka ingat anak-anak mereka, dan yang paling jadi sorotan adalah si anak tengah. Dia anak kuliah tingkat akhir, tapi belum juga , mereka lihat tanda-tanda anak mereka itu akan segera sarjana. Maka mereka teleponlah si anak tengah itu.
“kau itu nak, kenapa begitu kuliahmu??? Apan ko sarjana itu kalau begitu terus modelmu??? Nda kasihan ko sama orang tuamu??? Lihat ko nak susahnya kita ini carikan ko uang kuliah. Sampai-sampai nda pernah meki berfikir makan daging, ka kalian ji dipikir. Urus’i kuliahmu baik-baik nak. Sarjana cepat, biar ringan-ringan lagi beban pikirannya ini orang tua mu. Ingat ko bukan ki orang kaya, dikasi sekolah ko tinggi supaya dapat ko ijazah, biar bisa kerja yang layak. Tidak jadi pesuruh berpakaian dinas kayak orang tuamu ini. Ingat nak, ini ji yang bisa mama sama bapak kasikan ko, ka tidak ada tanah ta’ kita..”, kata wanita paruh baya itu sembari menasehati anaknya yang paling bandel namun paling sedikit mau itu.
Demikianlah, wanita paruh baya yang sebentar lagi akan memasuki masa-masa senja hidupnya. Di umurnya yang sudah uzur tersebut, dia masih tetap membanting tulang bahu membahu bersama suaminya demi keberlangsungan hidup mereka serta menghidupi buah hati mereka tercinta. Dia terus bekerja, tidak pandang umurnya yang menua, kelelahan yang menggerogoti tubuhnya, atau penyakit yang sudah semakin sering menderanya.

*  = ambo’ adalah panggilan ayah dalam suku bugis

No comments:

Post a Comment

Friday, March 7, 2014

WANITA PARUH BAYA ITU BERPAKAIAN DINAS

#sebuah tulisan di hari perempuan internasional..
Terik matahari siang itu benar-benar terasa. Bagaimana tidak, sekarang sedang musim kemarau. Wanita paruh baya itu melangkah keluar dari kantornya dengan menggunakan pakaian dinas kebanggannya. Ya, dia adalah seorang pegawai negeri disalah satu kabupaten yang masyarakatnya dominan bekerja sebagai petani. Dia tak bertani karena dia hanya seorang pendatang di kabupaten tersebut. Lagi pula dia tak bertanah. Tanah warisan orang tuanya telah habis di perebutkan keleuarga, dan dia tidak mengambil pusing. Penghasilan sebagai pegawai negeri, walaupun dengan gaji yang tidak bisa di bilang banyak, toh cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta menyekolahkan anak-anaknya, setidaknya sampai mereka sarjana. Langkah kakinya pelan keluar kantornya menanti tukang ojek untuk ke pasar, lalu pulang ke rumah.
***

ambo’*, mau k’ ke kota kluiah..”, kata gadis itu pelan.
Gadis itu adalah anak ketiga dari 4 bersaduara. Diantara ketiga saudaranya, dialah yang paling punya keinginan untuk belajar paling besar. Walaupun ayahnya memiliki tanah yang cukup luas, tapi dia ingin sekolah setinggi-tingginya. Dia tidak ingin hanya seperti orang tuanya. Dia ingin cerdas dan tentu ingin melihat dunia luar. Terang saja, di tengah budaya patriarki yang masih sangat kental di kampungnya dia dilarang oleh ambo’nya untuk ke kota. Bukan karena ambo’nya tidak mampu, tapi lebih karena dia adalah seorang gadis. Dan pada usia sepertinya, adalah usia yang sangat layak untuk segera dinikahkan, lantas jadi ibu rumah tangga yang baik yang tugasnya ‘melayani’ suami dan membantunya bekerja di sawah.
“mau ko pergi sekolah jauh-jauh di kota. Cukup mi itu sekolah mu, na lebih baik kalau menikah mako itu. Kalau ada suamimu, enak mi”, ambo’nya mulai menerangkan
Tapi dasar si gadis ini memang punya keinginan untuk bersekolah yang sangat tinggi. Lantas di bujuknya sedemikian rupa ambo’nya, dia senangkan hatinya, agar diberi izin. Dan pada akhirnya, karena rasa sayangnya yang besar, ambo’nya pun memberinya izin.
nak, kalau pergi ko sekolah di kota na menumpang dirumahnya orang,  jangan ko kasi susah yang punya rumah. Bantu-bantui kalau ada dia kerja. Baiar na suka juga kalau tinggal ko dirumahnya. Jaga dirimu baik-baik, belajar yang benar. Bukan ki orang kaya sekali na dikassi sekolah ko. Tapi, karena mau sekali ko sekolah. Kalau ada apa-apamu kabari orang tuamu dikampung”, pesan mendalam ambo’nya meneteskan air matanya. Betapa si gadis sayang pada ayahnya. Lelaki yang membesarkannya seorang diri, karena ibunya telah meninggal dunia saat dia masih duduk dibangku sekolah dasar.
***
Akhirnya wanita paruh baya itu tiba dirumahnya. Rumah yang sangat sederhana, bahkan bisa dibilang masih rumah yang setengah jadi. Bukan karena alasan apa dia dan suaminya tidak melanjutkan pembangunan rumah itu, untuk saat ini, pendapatan suami istri itu mereka fokuskan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Paling tidak, kalau anak tertuanya telah sarjana dan bekerja, dia mampu membantu mereka untuk membiayai sekolah-adik-adiknya. Saat dia tiba jam telah menunjukkan pukul 16.00, suaminya belum juga tiba dari kantor, sebab letak kantor suaminya memang cukup jauh dari rumah. Segera dia mengganti pakaian dinasnya, lantas mengambil air wudhu untuk bersegera shalat. Saat setelah shalat, dia beristirahat sejenak sebelum kembali bekerja untuk menyiapkan masakan malam untuk keluarga.
Sembari beristirahat, tak sadar imajinasinya membawanya menelusuri jejak kehidupannya. Mencoba merenungi nasib Tuhan yang dituliskan untuknya. Pikirannya berkelana ke masa lalu.
***
Dia, gadis itu menumpang disalah satu rumah kenalan orang tuannya dikota. Gadis itu sangat rajin. Membantu ibu yang punya rumah memasak, membersihkan, dan beberapa pekerjaan domestik lainnya. Dia memegang betul nasihat ambo’nya. Selain itu, dengan berbagai cara dia mencoba mencari uang sendiri. Dia tidak mau terlalu membebani ambo’nya. Sudah cukup izin yang dia dapat dari ambo’nya sebagai pemberian yang sangat berharga. Dia berusaha semampunya untuk memenuhi kebutuhan sendiri sampai nanti gelar sarjana muda dia dapatkan. Kehidupan perkotaan yang keras dihadapinya dengan keras juga. Itu membuat wataknya semakin keras. Dia mengerti, kehidupan yang keras harus dihadapi dengan keras juga. Kalau kita lemah, maka kita akan terlindas oleh kejamnya kehidupan. Berbagai pekerjaan dia kerjakan, mulai dari jadi guru privat, sampai menjadi pembanu pedagang di pasar. Tapi, satu hal yang dia jadikan pegangan teguh, bahwa pekerjaan apa pun yang dia lakukan tidak boleh mengganggi kuliahnya. Sebab, alasan utama dia menginjakkan kaki dikota adalah untuk sekolah. Dia tidak ingin mengecewakan ambo’nya. Akhirnya, itu menjadi rutinitas, kuliah, cari uang, membantu tuan rumah, dan belajar. Itu dia kerjakan secara disiplin. Walhasil, dia sarjana tepat waktu. Betapa senang hatinya. Dan lebih-lebih lagi betapa senang hati ambo’nya. Lantas, tidak lama kemudian dia lulus menjadi seorang pegawai negeri. Tapi, satu tantangan besar yang harus dia hadapi adalah penempatannya ditempat yang jauh dari kampung halaman, sebuah tempat yang ada diseberang lautan. Dan satu hal yang pasti, dia tidak pernah jauh-jauh dari kampugnya. Satu hal yang menjadi pertimbangan yang menjadi beban pikirannya adalah, tempat yang akan ditujunya ini adalah daerah yang belum lama diakui sebagai wilayah Indonesia. Tapi, kesempatan itu tidak dilewatkannya. Dengan berat hati ambo’nya lagi-lagi harus mengalah pada kerasnya watak anaknya. Diberinya si gadis uang tiket pesawat. Tapi, si gadis yang telah merasakan pedihnya hidup, mengerti betapa susahnya bertahan hidup didunia yang “menuhankan” uang. Uang tersebut diterimanya, tapi bukan untuk membeli tiket pesawat, melainkan tiket kapal laut. Sisanya dia simpan untuk kemungkinan terburuk yang bisa saja dia hadapi ditempat barunya tersebut. Berangkatlah dia ke kampung orang dengan perasaan tak karuan karena harus meninggalkan ambo serta sanak saudaranya yang lain.
Dan ditempat barunya nanti, dia akan mendapat pekerjaan yang tidak pernah dijamah oleh siapapun anggota keluarganya, atau bahkan mungkin tak pernah terpikrkan sedikitpun. Sebab dia akan menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil, pekerjaan yang membuatnya bangga.
***
Pukul 18.45, suaminya baru tiba dari shalat berjamaah di masjid. Mereka pun bercengkerama, membicarakan hal-hal yang baru mereka dapat dikantor seharian tadi. Tapi mereka merasa sepi. Anak-anak mereka semua tidak lagi tinggal dirumah. Yang tertua dan kedua ada dikota, sedang yang paling bunut ada diasrama pesantrennya. Kesepian itu membuat mereka ingat anak-anak mereka, dan yang paling jadi sorotan adalah si anak tengah. Dia anak kuliah tingkat akhir, tapi belum juga , mereka lihat tanda-tanda anak mereka itu akan segera sarjana. Maka mereka teleponlah si anak tengah itu.
“kau itu nak, kenapa begitu kuliahmu??? Apan ko sarjana itu kalau begitu terus modelmu??? Nda kasihan ko sama orang tuamu??? Lihat ko nak susahnya kita ini carikan ko uang kuliah. Sampai-sampai nda pernah meki berfikir makan daging, ka kalian ji dipikir. Urus’i kuliahmu baik-baik nak. Sarjana cepat, biar ringan-ringan lagi beban pikirannya ini orang tua mu. Ingat ko bukan ki orang kaya, dikasi sekolah ko tinggi supaya dapat ko ijazah, biar bisa kerja yang layak. Tidak jadi pesuruh berpakaian dinas kayak orang tuamu ini. Ingat nak, ini ji yang bisa mama sama bapak kasikan ko, ka tidak ada tanah ta’ kita..”, kata wanita paruh baya itu sembari menasehati anaknya yang paling bandel namun paling sedikit mau itu.
Demikianlah, wanita paruh baya yang sebentar lagi akan memasuki masa-masa senja hidupnya. Di umurnya yang sudah uzur tersebut, dia masih tetap membanting tulang bahu membahu bersama suaminya demi keberlangsungan hidup mereka serta menghidupi buah hati mereka tercinta. Dia terus bekerja, tidak pandang umurnya yang menua, kelelahan yang menggerogoti tubuhnya, atau penyakit yang sudah semakin sering menderanya.

*  = ambo’ adalah panggilan ayah dalam suku bugis

No comments:

Post a Comment