#sebuah tulisan di hari perempuan internasional..
Terik matahari siang itu
benar-benar terasa. Bagaimana tidak, sekarang sedang musim kemarau. Wanita paruh
baya itu melangkah keluar dari kantornya dengan menggunakan pakaian dinas
kebanggannya. Ya, dia adalah seorang pegawai negeri disalah satu kabupaten yang
masyarakatnya dominan bekerja sebagai petani. Dia tak bertani karena dia hanya
seorang pendatang di kabupaten tersebut. Lagi pula dia tak bertanah. Tanah warisan
orang tuanya telah habis di perebutkan keleuarga, dan dia tidak mengambil
pusing. Penghasilan sebagai pegawai negeri, walaupun dengan gaji yang tidak
bisa di bilang banyak, toh cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta
menyekolahkan anak-anaknya, setidaknya sampai mereka sarjana. Langkah kakinya
pelan keluar kantornya menanti tukang ojek untuk ke pasar, lalu pulang ke
rumah.
***
Gadis itu adalah anak ketiga dari
4 bersaduara. Diantara ketiga saudaranya, dialah yang paling punya keinginan
untuk belajar paling besar. Walaupun ayahnya memiliki tanah yang cukup luas,
tapi dia ingin sekolah setinggi-tingginya. Dia tidak ingin hanya seperti orang
tuanya. Dia ingin cerdas dan tentu ingin melihat dunia luar. Terang saja, di
tengah budaya patriarki yang masih sangat kental di kampungnya dia dilarang
oleh ambo’nya untuk ke kota. Bukan karena
ambo’nya tidak mampu, tapi lebih
karena dia adalah seorang gadis. Dan pada usia sepertinya, adalah usia yang
sangat layak untuk segera dinikahkan, lantas jadi ibu rumah tangga yang baik
yang tugasnya ‘melayani’ suami dan membantunya bekerja di sawah.
“mau ko pergi sekolah jauh-jauh di kota. Cukup mi itu sekolah mu, na lebih baik kalau menikah mako itu. Kalau ada suamimu, enak mi”, ambo’nya mulai
menerangkan
Tapi dasar si gadis ini memang
punya keinginan untuk bersekolah yang sangat tinggi. Lantas di bujuknya
sedemikian rupa ambo’nya, dia
senangkan hatinya, agar diberi izin. Dan pada akhirnya, karena rasa sayangnya
yang besar, ambo’nya pun memberinya
izin.
“nak, kalau pergi ko sekolah
di kota na menumpang dirumahnya
orang, jangan ko kasi susah yang punya rumah. Bantu-bantui kalau ada dia kerja. Baiar na suka juga kalau tinggal ko dirumahnya. Jaga dirimu baik-baik,
belajar yang benar. Bukan ki orang
kaya sekali na dikassi sekolah ko. Tapi,
karena mau sekali ko sekolah. Kalau ada
apa-apamu kabari orang tuamu dikampung”, pesan mendalam ambo’nya meneteskan air matanya. Betapa si gadis sayang pada
ayahnya. Lelaki yang membesarkannya seorang diri, karena ibunya telah meninggal
dunia saat dia masih duduk dibangku sekolah dasar.
***
Akhirnya wanita paruh baya itu
tiba dirumahnya. Rumah yang sangat sederhana, bahkan bisa dibilang masih rumah
yang setengah jadi. Bukan karena alasan apa dia dan suaminya tidak melanjutkan
pembangunan rumah itu, untuk saat ini, pendapatan suami istri itu mereka
fokuskan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Paling tidak, kalau anak tertuanya
telah sarjana dan bekerja, dia mampu membantu mereka untuk membiayai
sekolah-adik-adiknya. Saat dia tiba jam telah menunjukkan pukul 16.00, suaminya
belum juga tiba dari kantor, sebab letak kantor suaminya memang cukup jauh dari
rumah. Segera dia mengganti pakaian dinasnya, lantas mengambil air wudhu untuk
bersegera shalat. Saat setelah shalat, dia beristirahat sejenak sebelum kembali
bekerja untuk menyiapkan masakan malam untuk keluarga.
Sembari beristirahat, tak sadar
imajinasinya membawanya menelusuri jejak kehidupannya. Mencoba merenungi nasib
Tuhan yang dituliskan untuknya. Pikirannya berkelana ke masa lalu.
***
Dia, gadis itu menumpang disalah
satu rumah kenalan orang tuannya dikota. Gadis itu sangat rajin. Membantu ibu
yang punya rumah memasak, membersihkan, dan beberapa pekerjaan domestik lainnya.
Dia memegang betul nasihat ambo’nya. Selain
itu, dengan berbagai cara dia mencoba mencari uang sendiri. Dia tidak mau
terlalu membebani ambo’nya. Sudah cukup
izin yang dia dapat dari ambo’nya
sebagai pemberian yang sangat berharga. Dia berusaha semampunya untuk memenuhi
kebutuhan sendiri sampai nanti gelar sarjana muda dia dapatkan. Kehidupan perkotaan
yang keras dihadapinya dengan keras juga. Itu membuat wataknya semakin keras. Dia
mengerti, kehidupan yang keras harus dihadapi dengan keras juga. Kalau kita
lemah, maka kita akan terlindas oleh kejamnya kehidupan. Berbagai pekerjaan dia
kerjakan, mulai dari jadi guru privat, sampai menjadi pembanu pedagang di
pasar. Tapi, satu hal yang dia jadikan pegangan teguh, bahwa pekerjaan apa pun
yang dia lakukan tidak boleh mengganggi kuliahnya. Sebab, alasan utama dia
menginjakkan kaki dikota adalah untuk sekolah. Dia tidak ingin mengecewakan ambo’nya. Akhirnya, itu menjadi
rutinitas, kuliah, cari uang, membantu tuan rumah, dan belajar. Itu dia
kerjakan secara disiplin. Walhasil, dia sarjana tepat waktu. Betapa senang
hatinya. Dan lebih-lebih lagi betapa senang hati ambo’nya. Lantas, tidak lama kemudian dia lulus menjadi seorang
pegawai negeri. Tapi, satu tantangan besar yang harus dia hadapi adalah
penempatannya ditempat yang jauh dari kampung halaman, sebuah tempat yang ada
diseberang lautan. Dan satu hal yang pasti, dia tidak pernah jauh-jauh dari kampugnya.
Satu hal yang menjadi pertimbangan yang menjadi beban pikirannya adalah, tempat
yang akan ditujunya ini adalah daerah yang belum lama diakui sebagai wilayah
Indonesia. Tapi, kesempatan itu tidak dilewatkannya. Dengan berat hati ambo’nya lagi-lagi harus mengalah pada
kerasnya watak anaknya. Diberinya si gadis uang tiket pesawat. Tapi, si gadis
yang telah merasakan pedihnya hidup, mengerti betapa susahnya bertahan hidup
didunia yang “menuhankan” uang. Uang tersebut diterimanya, tapi bukan untuk
membeli tiket pesawat, melainkan tiket kapal laut. Sisanya dia simpan untuk
kemungkinan terburuk yang bisa saja dia hadapi ditempat barunya tersebut. Berangkatlah
dia ke kampung orang dengan perasaan tak karuan karena harus meninggalkan ambo serta sanak saudaranya yang lain.
Dan ditempat barunya nanti, dia
akan mendapat pekerjaan yang tidak pernah dijamah oleh siapapun anggota
keluarganya, atau bahkan mungkin tak pernah terpikrkan sedikitpun. Sebab dia
akan menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil, pekerjaan yang membuatnya bangga.
***
Pukul 18.45, suaminya baru tiba
dari shalat berjamaah di masjid. Mereka pun bercengkerama, membicarakan hal-hal
yang baru mereka dapat dikantor seharian tadi. Tapi mereka merasa sepi. Anak-anak
mereka semua tidak lagi tinggal dirumah. Yang tertua dan kedua ada dikota,
sedang yang paling bunut ada diasrama pesantrennya. Kesepian itu membuat mereka
ingat anak-anak mereka, dan yang paling jadi sorotan adalah si anak tengah. Dia
anak kuliah tingkat akhir, tapi belum juga , mereka lihat tanda-tanda anak
mereka itu akan segera sarjana. Maka mereka teleponlah si anak tengah itu.
“kau itu nak, kenapa begitu
kuliahmu??? Apan ko sarjana itu kalau
begitu terus modelmu??? Nda kasihan ko sama
orang tuamu??? Lihat ko nak susahnya
kita ini carikan ko uang kuliah. Sampai-sampai
nda pernah meki berfikir makan
daging, ka kalian ji dipikir. Urus’i kuliahmu baik-baik nak. Sarjana cepat, biar ringan-ringan lagi
beban pikirannya ini orang tua mu. Ingat ko
bukan ki orang kaya, dikasi
sekolah ko tinggi supaya dapat ko ijazah, biar bisa kerja yang layak. Tidak
jadi pesuruh berpakaian dinas kayak orang tuamu ini. Ingat nak, ini ji yang bisa mama sama bapak kasikan ko, ka tidak ada tanah ta’ kita..”, kata wanita paruh baya itu
sembari menasehati anaknya yang paling bandel namun paling sedikit mau itu.
Demikianlah, wanita paruh baya
yang sebentar lagi akan memasuki masa-masa senja hidupnya. Di umurnya yang
sudah uzur tersebut, dia masih tetap membanting tulang bahu membahu bersama
suaminya demi keberlangsungan hidup mereka serta menghidupi buah hati mereka
tercinta. Dia terus bekerja, tidak pandang umurnya yang menua, kelelahan yang
menggerogoti tubuhnya, atau penyakit yang sudah semakin sering menderanya.
* = ambo’
adalah panggilan ayah dalam suku bugis
0 comments:
Post a Comment