#tentang Bumi dan Kartini
Namaku su, mahasiswa Fakultas
Ilmu Pasti tingkat akhir. Hari ini tanggal 22 april 2014. Kata orang, hari ini
Hari Bumi Sedunia (sesuau yang aku tak mengerti asal usulnya). Itu ku lihat
dari banyaknya orang yang mengatakan sejuta kata yang intinya sederhana, “selamat
hari bumi sedunia..”, dan aku hanya bisa tersenyum kecil. Bukan hendak
mengejek, walau juga tak ada niat sedikit pun untuk bersepakat, sebab
dipandanganku kalimat-kalimat tersebut hanya sampai dirongga mulut orang-orang
yang mengucapkannya. Atau paling keren hanya sampai dihalaman dinding akun
sosial media mereka. Titik, cukup sampai disitu. Setidaknya itu yang ku dapat
dari pengalamanku.
Lihat saja, kalimat “selamat hari bumi sedunia” diucapkan oleh orang-orang yang setiap harinya membuang sampah sembarangan. Orang-orang yang saat ditegur, akan menjawab dengaan santai, “ada jie cleaning service yang nanti bersihkan, untuk itu jie memang mereka digaji”. Kalimat yang sama sekali tidak berperikemanusiaan dan saya hanya bisa berharap, mudah-mudah kelak dimasa depan kau atau keturunan mu tidak menjadi cleaning service yang harus membersihkan lantai yang dikotori orang atau bahkan kloset bekas kencing orang lain dengan upah hanya 300-900ribu rupiah. Atau keluar dari mulut para perokok tidak tahu diri yang membuang puntungnya di ‘asbak tidak bertepi’, yang ketika ditegur, akan dengan relaks menjawab, “jangan meko bersihkan ki itu, saya pi nanti..”. Itu belum dihitung dengan asap mereka yang mereka buang secara semena-mena ke kerongkongan mereka yang tidak merokok, yang pada akhirnya membuat dadanya sesak. Ada juga kalimat dari aktivis-aktivis yang mengaku pro lingkungan, namun lihat saja mereka setelah melakukan aksi demonstrasi, berapa banyak sisa sampah gelas minuman air mineral mereka yang mereka sebar ditengah jalanan, atau dikantor-kantor pemerintahan. Dan yang paling meuakkan adalah kalimat “selamat Hari Bumi” dari para bedebah-bedebah yang dengan santainya memakui pepohonan saat mereka berkampanye dan membual rakyat. Dan nanti, saat mereka terpilih entah berapa pohon mereka babat untuk pelebaran jalan-jalan, atau berapa hutan mereka babat demi membangun pabrik-pabrik atau tambang-tambang. Semua dengan satu asumsi, ‘PEMBANGUNAN’. Disisi lain, mereka mengampanyekan penghijauan, penanaman seratus, seribu, atau mungkin sejuta pohon. Hal yang sama seperti logika yang ku dapat ketika menonton film india ‘Oh My God’, katanya, “itu sama saja dengan seorang pengusaha rokok yang membuat yayasan penanggulangan korban kanker”. Akhirnya kalimat ucapan mereka adalah sebuah kalimat kotor dari mulut-mulut yang mungkin tidak pernah sikat gigi yang terus membodohi, membohongi, serta menjarah setiap sendi-sendi bumi manusia. Mungkin ini hanya hal yang kecil atau sepele. Seperti kata bung JRX “SID”, menurutnya, ‘aksi penghijauan itu hanya hal yang kecil dan tidak berguna jika tidak diiringi dengan aksi-aksi yang bersifat tuntutan politis ke jajaran penguasa’. Tapi, bagaimana mau aksi menuntut kalau ternyata yang menuntut itu juga ternyata adalah pelaku pengrusakan...??!!! Logikanya, sama saja dengan seorang pencuri yang memeja hijaukan pencuri lainnya. Itu hanya sebuah lawakan tidak lucu dipanggung komedi yang tidak pernah berhasil membuat audience-nya tertawa. Saya tidak bermaksud untuk berkata, “perbaiki dulu dirimu sebelum perbaiki yang lainnya”. Saya tidak sepakat dengan anggapan itu. Sebab dari proses kita belajar dan memperbaiki diri. Tapi, setidaknya ucapkan hal-hal realistis yang mampu dipertanggung jawabkan..!!! dan akhirnya, disaat euforia tinggi ke-bumi-an dan kecintaan terhadap alam ada dimana-mana, saya hanya bisa sedikit tersenyum kecil dalam hati.
Lihat saja, kalimat “selamat hari bumi sedunia” diucapkan oleh orang-orang yang setiap harinya membuang sampah sembarangan. Orang-orang yang saat ditegur, akan menjawab dengaan santai, “ada jie cleaning service yang nanti bersihkan, untuk itu jie memang mereka digaji”. Kalimat yang sama sekali tidak berperikemanusiaan dan saya hanya bisa berharap, mudah-mudah kelak dimasa depan kau atau keturunan mu tidak menjadi cleaning service yang harus membersihkan lantai yang dikotori orang atau bahkan kloset bekas kencing orang lain dengan upah hanya 300-900ribu rupiah. Atau keluar dari mulut para perokok tidak tahu diri yang membuang puntungnya di ‘asbak tidak bertepi’, yang ketika ditegur, akan dengan relaks menjawab, “jangan meko bersihkan ki itu, saya pi nanti..”. Itu belum dihitung dengan asap mereka yang mereka buang secara semena-mena ke kerongkongan mereka yang tidak merokok, yang pada akhirnya membuat dadanya sesak. Ada juga kalimat dari aktivis-aktivis yang mengaku pro lingkungan, namun lihat saja mereka setelah melakukan aksi demonstrasi, berapa banyak sisa sampah gelas minuman air mineral mereka yang mereka sebar ditengah jalanan, atau dikantor-kantor pemerintahan. Dan yang paling meuakkan adalah kalimat “selamat Hari Bumi” dari para bedebah-bedebah yang dengan santainya memakui pepohonan saat mereka berkampanye dan membual rakyat. Dan nanti, saat mereka terpilih entah berapa pohon mereka babat untuk pelebaran jalan-jalan, atau berapa hutan mereka babat demi membangun pabrik-pabrik atau tambang-tambang. Semua dengan satu asumsi, ‘PEMBANGUNAN’. Disisi lain, mereka mengampanyekan penghijauan, penanaman seratus, seribu, atau mungkin sejuta pohon. Hal yang sama seperti logika yang ku dapat ketika menonton film india ‘Oh My God’, katanya, “itu sama saja dengan seorang pengusaha rokok yang membuat yayasan penanggulangan korban kanker”. Akhirnya kalimat ucapan mereka adalah sebuah kalimat kotor dari mulut-mulut yang mungkin tidak pernah sikat gigi yang terus membodohi, membohongi, serta menjarah setiap sendi-sendi bumi manusia. Mungkin ini hanya hal yang kecil atau sepele. Seperti kata bung JRX “SID”, menurutnya, ‘aksi penghijauan itu hanya hal yang kecil dan tidak berguna jika tidak diiringi dengan aksi-aksi yang bersifat tuntutan politis ke jajaran penguasa’. Tapi, bagaimana mau aksi menuntut kalau ternyata yang menuntut itu juga ternyata adalah pelaku pengrusakan...??!!! Logikanya, sama saja dengan seorang pencuri yang memeja hijaukan pencuri lainnya. Itu hanya sebuah lawakan tidak lucu dipanggung komedi yang tidak pernah berhasil membuat audience-nya tertawa. Saya tidak bermaksud untuk berkata, “perbaiki dulu dirimu sebelum perbaiki yang lainnya”. Saya tidak sepakat dengan anggapan itu. Sebab dari proses kita belajar dan memperbaiki diri. Tapi, setidaknya ucapkan hal-hal realistis yang mampu dipertanggung jawabkan..!!! dan akhirnya, disaat euforia tinggi ke-bumi-an dan kecintaan terhadap alam ada dimana-mana, saya hanya bisa sedikit tersenyum kecil dalam hati.
Keadaan yang sama juga terjadi
sebelumnya. Tanggal 21 april. Kata orang itu tanggal kelahiran R.A Kartini. Seorang
tokoh pribumi priyayi yang bersejarah karena ‘kegalauan’nya yang memuncak atas
penghisaban terhadap kaum perempuan akibat budaya patrialkal sebagai sebuah
konsekuensi logis dari mapannya sistem kolonialisme yang disokong oleh
feudalisme pada jamannya. ‘kegalauan’ yang akhirnya mendororngnya menulis
kalimat keluh kesahnya dalam lembaran surat yang dia kirim ke beberapa alamat. Surat-surat
kemudian dirangkum menjadi sebuah buku legendaris dengan tajuk ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Buku yang
sempat ku beli, namun tak sempat ku baca akibat kelalaian seorang kawan yang
meinjam. Ditanggal yang sama tap ditahun yang berbeda, 21 April 2014, beranda facebookku ramai dengan ucapan ‘selamat
hari Kartini’, dengan berbagai macam embel-embel pemajuan kaum perempuan. Tapi,
keadaan yang terjadi sama saja. Kalimat tersebut juga hanya sebatas omongan
seremonial yang meungkin esok atau lusa penulisnya lupa kalau mereka pernah
menulisnya. Sebuah kalimat “selamat Hari Kartini”. Kalimat ditengah kondisi
perempuan terdikreditkan dalam realitas umum. Budaya yang menempatkan perempuan
hanya sebagai babu. Budaya yang menempatkan penerus hawa hanya sebatas pada
SUMUR, DAPUR, dan KASUR. Budaya yang menempatkan perempuan seperti barang
dagangan. Budaya yang membangkitkan kesadaran perempuan bahwa, “kelak, saya
harus jadi istri yang berbakti dan melayani suami sepenuh hati”, walau suaminya
adalah orang yang tukang selingkuh sementara perempuan dalam hukum agama tidak
berhak melayangkan talak. Atau budaya yang menjadikan perempuan sebagai
komoditas dagang. Menjual tubuh perempuan melalui iklan-iklan tidak senonoh. Atau
kebudayaan yang akhirnya melahirkan sebuah kesadaran yang entah harus saya
syukuri atau saya keluhkan, yaitu kesadaran progresof kebablasan yang ingin
menyamaratakan perempuan dan laki-laki tanpa batasan kelamin, serta kadang kala
diikuti oleh kesadaran benci pada lawan jenis. Mungkin mereka tak sadar,
kesetaraan yang diinginkan oleh Kartini bukanlah kesetaraan tanpa batasan,
melainkan kesetaraan pada segi hak dan kewajiban. Saat lelaki berhak untuk sekolah,
kerja, memilih jalan hidup, maka perempuan juga harus memiliki hak itu. Atau ketika
laki-laki memiliki kewajiban untuk berjuang, maka perempuan juga seharusnya
demikian.
Dan pada akhirnya, mungkin hanya
ada senyum tipis melihat semuanya. Tapi, apa hendak dikata, demikianlah tingkat
kesadaran kita pada hari ini. Maka sangat wajar sebagian besar jika hanya
menganggap setiap momen, dan berakhir sampai disitu. Dengan kondisi demikian,
mungkin ini seharusnya jadi gelitikan buat insan-insan maju untuk mendidik dan
memajukan kesadaran umum secara sabar dan bertahap. Sehingga kelak akan ada
titik terang dari gelombang gelap yang menutup hari ini. Setitik terang yang
terus membesar dan mengusir gelap.
Buat kalian yang punya cita-cita lantas berjuang dan
melangkah menuju masa depan yang terang menderang,
“SELAMAT HARI KARTINI DAN HARI
BUMI..!!!”
Selamatkan bumi dan jayalah perempuan Indonesia
ReplyDelete