Berpikir berasal dari kata dasar ‘pikir’ yang artinya akal budi; ingatan;
angan-angan. Sementara berpikir adalah menggunakan akal budi untuk
mempertimbangkan atau memutuskan sesuatu. Sementara berpikir yang benar adalah
cara berfikir yang sesuai dengan kenyataan real. Banyak orang-orang yang
menempatkan asumsi sebagai acuan dalam pikirannya. Namun, pada akhirnya metode
berfikir yang menempatkan asumsi sebagai acuan tidak akan pernah memberi solusi
atau penjelasan konkret tentang sebuah keadaan. Sebab, pandangannya hanya
bersumber dari subjektif yang berfikir tanpa dibarengi dengan bukti-bukti
konkret. Sementara keadaan itu bukan bersumber dari asumsi subjektif saja.
‘saya
adalah mahasiswa salah satu kampus kenamaan di pulau Jawa. Suatu waktu, saya
melihat sebuah berita tentang demonstrasi mahasiswa disalah satu kampus di Makassar
yang berujung bentrok dengan pihak aparat keamanan. Berdasar dari hal tersebut,
saya langsung menilai bahwa mahasiswa makassar itu anarkis, brutal, dan tukang
berkelahi’
Apakah
pendapat saya benar???
Tentu, pendapat ini salah. Sebab, dalam
kasus ini saya secara semena-mena menilai
teman-teman mahasiswa Makassar tanpa melakukan penelusuran lebih lanjut dari
berita yang diedarkan oleh media.
Tapi, mengapa kita mesti berpikir yang
benar???
Jika melihat ke contoh yang ada tadi. Maka
dapat kita tentukan bahwa tujuan berpikir yang benar adalah untuk mengetahui
secara konkret dan objektif keadaan yang terjadi. Dengan berfikir yang benar
dengan menempatkan keadaan konkret sebagai sumber ukuran bukan sebaliknya menggunakan asumsi yang subjektif, maka secara
konkret kita dapat mengukur dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dengan demikian,
kita dapat menemukan kesimpulan yang konkret berdasar pada pemahaman terhadap
situasi yang konkret pula.
Setelah
mengetahui keadaan secara konkret, lantas apa yang akan kita lakukan??
Dalam hal ini kurang lebih manusia dapat
dikelompokkan pada 3 kesimpulan:
Golongan I, mereka dengan pemahaman terhadap kondisi akan menyimpulkan, “sebenarnya saya tahu, tapi saya tidak peduli. Karena saya tidak merasa terganggu dengan keadaan tersebut”
Golongan II, mereka dengan pemahaman terhadap kondisi akan menyimpulkan, “sebenarnya sayat tahu, tapi saya tidak mampu melakukan apa-apa. Itu sudah terlanjur seperti demikian”
Golongan III, mereka dengan pemahaman terhadap kondisi akan menyimpulkan, “saya tahu dengan kondisi ini, dan akan berusaha merubah kondisi tersebut!!”
Golongan I, mereka dengan pemahaman terhadap kondisi akan menyimpulkan, “sebenarnya saya tahu, tapi saya tidak peduli. Karena saya tidak merasa terganggu dengan keadaan tersebut”
Golongan II, mereka dengan pemahaman terhadap kondisi akan menyimpulkan, “sebenarnya sayat tahu, tapi saya tidak mampu melakukan apa-apa. Itu sudah terlanjur seperti demikian”
Golongan III, mereka dengan pemahaman terhadap kondisi akan menyimpulkan, “saya tahu dengan kondisi ini, dan akan berusaha merubah kondisi tersebut!!”
Pertanyaannya lagi, kira-kira tindakan yang mana yang tepat terhadap kondisi diatas???
Golongan pertama adalah golongan dengan
sudut pandang apatis. Mereka cenderung tidak peduli dengan kondisi selama
mereka masih mampu menikmati kehidupan. Golongan kedua, mereka adalah golongan
yang pasrah. Mereka memilih mengalah dengan kondisi yang ada. Menganggap segala
yang ada diatas muka bumi ini tidak dapat berubah lagi, semua sudah berjalan sebagaimana
mestinya. Golongan ketiga adalah golongan kritis. Mereka menganggap tidak ada
kemutlakan didunia ini selain perubahan itu sendiri. Sehingga, setiap
kejanggalan yang terjadi menjadi tolak ukur bagi mereka untuk melakukan
tindakan.
Kembali ke pertanyaan, tindakan mana
yang tepat dari kondisi diatas. Untuk menjawab itu, saya akan memberi sebuah
contoh kasus lagi,
‘saya
mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti Univ Ayam Jantan angkatan 2013. Seangkatan kami
berjumlah 442 orang. Jumlah SPP yang kami bayar adalah Rp 750.000 sementara
kawan dari fakultas lain yang non exact membayar SPP sebesar Rp 600.000.
Menurut info yang saya dapat, perbeadaan tersebut lahir dari adanya biaya
laboratorium untuk fakultas yang exact, termasuk fakultasku. Namun saat kami
masuk ke dalam laboratorium untuk pratikum, kami malah mendapatkan laboratorium
yang sangat tidak memadai. Alat ukur untuk praktikum yang sebenarnya tidak
seberapa harganya malah tidak layak pakai. Selang beberapa hari, kami masuk praktikum
laboratorium yang lain. Hal yang lebih aneh terjadi, kami malah disuruh membeli
alat-alat laboratorium yang diakhir praktikum akan di”sumbangkan” ke
laboratorium.’
Dengan kondisi diatas, apa yang akan kawan-kawan lakukan???
Apakah akan apatis seperti golongan
pertama, atau pasrah seperti golongan kedua, atau sebaliknya kritis seperti
golongan ketiga??? Apakah akan dengan santai mengatakan, “ah, itu bukan urusan saya..”, sementara orang tua dikampung sedang
bekerja keras mencari uang dengan cara yang tidak gampang, atau akan dengan
wajah memelas mengatakan, “mau diapakan
lagi, sudah seperti demikian aturannya..” sedang jelas-jelas aturan yang ‘sebenarnya’
adalah ada sebagian uang SPP kita yang seharusnya dibelanjakan untuk keperluan
laboratorium, atau dengan tegas berkata, “ini
tidak benar, kita harus menuntut hak kita kembali”???
Pada akhirnya, pemahaman kita terhadap
situasi atau keadaan seharusnya menjadikan kita sebagai manusia yang aktif
dalam menggerakkan perubahan. Sebab, lagi-lagi saya sampaikan bahwa tidak ada sesuatu yang kekal selain
perubahan itu sendiri. Materi akan selalu bergerak, itulah hukum alam. Itu bisa
kita lihat dari pandangan kita terhadap perubahan sejarah. Bagaimana dahulu
orang yang hanya menunggunakan alam sebagai alat-alat produksi pada hari ini
kita bisa menggunakan teknologi yang lebih canggih untuk mempermudah pekerjaan
kita.
Lantas, apa hubungan perubahan dengan
CARA BERPIKIR YANG BENAR??
Nah, tadi telah kita bahas bahwa cara
berpikir yang benar adalah cara berpikir yang menyandarkan kesimpulan terhadap
kondisi objektif. Maka, dengan cara berpikir inilah kita mampu mengetahui dan
mengukur keadaan. Sehingga, hanya dengan cara berpikir inilah kita mampu menentukan secara objektif
langkah-langkah perjuangan kita. Sehingga langkah yang kita ambil dalam
rangka penuntutan hak-hak dasar kita benar-benar konkret dan terukur sesuai
dengan sumber daya yang kita punyai, bukan
sebaliknya malah menggunakan cara-cara yang bersifat reaksioner dan ‘gaya-gayaan’.
SUMBER
TEORI
Sebelum jauh melangkah, satu hal yang
harus kita kupas, yaitu:
“Keadaan
mempengaruhi Kesadaran”
Kenapa
demikian???
Sebab, tingkat kesadaran manusia tidak
serta-merta lahir secara instan turun dari langit. Melainkan dipengaruhi oleh
keadaan yang terjadi disekitarnya. Ini bukan soal yang mana duluan, melainkan
ini soal yang mana yang mempengaruhi. Lihat saja, tingkat kesadaran orang-orang
yang ada dipelosok itu sangat berbeda dengan orang-orang yang ada diperkotaan. Orang
yang ada dipelosok kebanyakan masih bersifat tradisional dan menyandarkan
kehidupan ke alam. Sementara orang yang tinggal diperkotaan, mayoritas telah
jauh dari kesan tradisional dan kehidupannya sangat bergantung pada teknologi
canggih. Apa yang menyebabkan hal tersebut??? Apakah takdir Tuhan??? Saya rasa
akan sangat tidak bertanggungjawab jika kita berpendapat perbedaan tersebut
karena Tuhan dan menafikan kondisi atau keadaan mereka.
Kalau kita telah bersepakat tentang hal
tersebut, baru layak kita melangkah ke pembahasan selanjutnya tentang
sumber-sumber pikiran yang benar. Sebab kesadaran/pikiran/teori bukan hal yang secara ‘tidak
bertanggunggungjawab’ Tuhan turunkan ke akal manusia, melainkan dari berbagai
proses. Dari proses itulah manusia merefleksi dan kemudian menemukan
kesimpulan. Hal-hal tersebut adalah:
1. Praktek kerja produksi
Praktek
kerja produksi adalah praktek manusia dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Setiap
manusia untuk bertahan hidup pada dasarnya membutuhkan hal-hal pokok yang untuk
mendapatkannya, manusia harus melalui proses kerja. Inilah yang disebut praktek
kerja produksi. Seorang petani, dapat mendapat pengetahuan tentang cara
bercocok tanam yang benar, tentang musim tanam/musim panen, itu bukan lahir
dari mukjizat, melainkan dari praktek bertahun-tahun yang kemudian diajarkan
secara turun temurun.
2. Praktek berjuang
Telah
kita singgung di awal, bahwa hakekat tertinggi dari berpikir adalah perubahan
keadaan. Sementara perubahan keadaan itu tidak serta merta lahir, melainkan melalui
proses panjang perjuangan. Lalu, apa hubungannya dengan sumber pengetahuan/teori??
Jelas berhubungan, seseorang dapat mengetahui kepentingan suatu massa jika kita
terlibat dalam perjuangan massa tersebut. Akan sangat tidak konkret seseorang
membicarakan kepentingan perjuangan suatu kelompok jika dia bukan bagian dari
perjuangan kelompok tersebut. Akan sangat tidak mungkin seorang mahasiswa
membincang tentang kepentingan mahasiswa tentang laboratorium jika dia bukan
bagian dari perjuangan tersebut. Sebab, dia tidak merasakan atmosfer dari
perjuangan tersebut.
3.Percobaan/eksperimen
Teori yang benar
adalah teori yang mampu menjawab semua keraguan dan pandangan kontra melalui
eksperimen/percobaan ilmiah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa teori
tersebut benar-benar bersumber dari keadaan yang terjadi. Contoh, ada teori
yang mengatakan PTN-BH (PTN Berbadan Hukum) itu akan memurahkan bahkan menggratiskan
kuliah. Itu baru bisa dikatakan benar jika praktek dilapangan membuktikan bahwa
kampus yang telah PTN-BH benar-benar murah. Namun jika yang terjadi malah
sebaliknya, maka teori bahwa PTN-BH itu memurahkan bahkan menggratiskan kuliah
telah salah dengan sendirinya.
TINGKAT
PENGETAHUAN MANUSIA
Sudah kita jabarkan diatas, bahwa sumber
teori/pengetahuan manusia itu berssumber dari prakteknya. Semakin jauh dia
melakukan praktek, maka semakin banyak teori yang dia ketahui. Untuk itu ada
tingkatan-tingkatan dari pengetahuan itu sendiri:
1. Pengetahuan
Sensasional
Pengetahuan sensasional lahir dari
pengamatan sepintas manusia. Dari sumbernya, bisa dikatakan bahwa pengetahuan
ini masih bersifat sangat subjektif. Sebab hanya didapat dalam pengamatan
sepintas saja. Contoh kasus bsa kita lihat contoh tentang laboratorium diatas. Secara
sepintas saya bisa menyimpulkan bahwa alat-alat laboratorium itu tidak memadai
sementara saya dan teman-teman saya telah membayar uang laboratorium sebesar Rp
150.000 setiap semester. Namun, saya tidak bisa menjelaskan apa yang
menyebabkan hal tersebut, sebab pengetahuan itu hanya sampai kepada hal yang
bersifat fenomenologi dan hanya kulit-kulitnya.
2. Pengetahuan
Objektif
Pengetahuan objektif adalah
pengetahuan yang lebih jauh dari sensasional. Sebab dia sudah berbicara keadaan
dan penyebabnya. Pengetahuan objektif adalah pengetahuan yang tidak lepas dari
pengetahuan sensasional, sebab pengetahuan objektif adalah hasil dari
kesimpulan terhadap pengetahuan sensasional. Sebab, dari pengetahuan
sensasional tersebut menyebabkan kita untuk melakukan penyelidikan ilmiah (bahasa kerennya INVESTIGASI). Dengan kondisi
laboratorium yang sangat tidak memadai dan kenyataan bahwa kita telah membayar
uang utuk laboratorium menyebabkan kita melakukan penyelidikan ilmiah untuk
mendapat data tentang laboratorium tersebut. Tentang tata kelola keuangan
kampus, anggaran yang dikeluarkan kampus untuk fasilitas laboratorium dan gaji tenaga laboratorium,
dll. Dengan data-data tersebut, kita dapat menganalisa dan menyimpulkan alasan
kenapa laboratorium tersebut memiiki fasilitas yang tidak memadai. Tantangan terbesar
dalam proses pencarian data ini adalah ketiadaan
keterbukaan informasi publik oleh pihak yang berwenang.
Dari pembahasan diatas, dapat dilihat
bahwa tindakan yang kemudian kita lakukan setelah mendapat pengetahuan
sensasional-lah yang menentukan sejauh mana kita mengetahui keadaan. Jika, kita
enggan melakukan penelidikan, maka tingkat pengetahuan kita hanya akan sampai
pada kesimpulan fenomena saja, tidak mengetahui sebab fenomena tersebut. Dan satu
hal yang harus jadi pegangan kita bersama, adalah ‘no investigation, no rights to
speak’. Sebab, tanpa investigasi/penyelidikan maka apa yang kita
ucapkan adalah bualan atau tuduhan tak berdasar.
The
last,
Mungkin cuma ini yang dapat saya
tuliskan tentang CARA BERPIKIR YANG BENAR. Satu hal yang menjadi penekanan
adalah fungsi dan kedudukan berpikir itu sendiri. Banyak yang diantara kita
menempatkan berpikir sebagai alat untuk berdebat dan berdiskusi saja. Namun
pertanyaanya, apakah perluasan khasanah pengetahuan melalui proses diskusi akan
berdampak pada perubahan jika tidak dipraktekkan?? Saya pikir itu tidak, dan
hasil debat dan diskusi seperti itu hanya akan menjadi pengaya pengetahuan
saja, selebihnya tidak. Maka akan lebih maju jika kemudian proses berpikir yang
lahir dari kenyataan konkret itu dipakai untuk menjadi panduan kerja dalam
semangat untuk melakukan perubahan secara mendasar terhadap kehidupan kita.
good point (y)
ReplyDeletesaya terinspirasi karena tulisan ini bung :D cklckckc