Friday, April 25, 2014

BERFIKIR YANG BENAR


Berpikir berasal dari kata dasar ‘pikir’ yang artinya akal budi; ingatan; angan-angan. Sementara berpikir adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan atau memutuskan sesuatu. Sementara berpikir yang benar adalah cara berfikir yang sesuai dengan kenyataan real. Banyak orang-orang yang menempatkan asumsi sebagai acuan dalam pikirannya. Namun, pada akhirnya metode berfikir yang menempatkan asumsi sebagai acuan tidak akan pernah memberi solusi atau penjelasan konkret tentang sebuah keadaan. Sebab, pandangannya hanya bersumber dari subjektif yang berfikir tanpa dibarengi dengan bukti-bukti konkret. Sementara keadaan itu bukan bersumber dari asumsi subjektif saja.
 Untuk memperjelas itu saya akan memberi contoh kasus,
‘saya adalah mahasiswa salah satu kampus kenamaan di pulau Jawa. Suatu waktu, saya melihat sebuah berita tentang demonstrasi mahasiswa disalah satu kampus di Makassar yang berujung bentrok dengan pihak aparat keamanan. Berdasar dari hal tersebut, saya langsung menilai bahwa mahasiswa makassar itu anarkis, brutal, dan tukang berkelahi’
Apakah pendapat saya benar???
Tentu, pendapat ini salah. Sebab, dalam kasus ini saya secara semena-mena menilai teman-teman mahasiswa Makassar tanpa melakukan penelusuran lebih lanjut dari berita yang diedarkan oleh media.
 Tapi, mengapa kita mesti berpikir yang benar???
Jika melihat ke contoh yang ada tadi. Maka dapat kita tentukan bahwa tujuan berpikir yang benar adalah untuk mengetahui secara konkret dan objektif keadaan yang terjadi. Dengan berfikir yang benar dengan menempatkan keadaan konkret sebagai sumber ukuran bukan sebaliknya menggunakan asumsi yang subjektif, maka secara konkret kita dapat mengukur dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dengan demikian, kita dapat menemukan kesimpulan yang konkret berdasar pada pemahaman terhadap situasi yang konkret pula.
Setelah mengetahui keadaan secara konkret, lantas apa yang akan kita lakukan??
Dalam hal ini kurang lebih manusia dapat dikelompokkan pada 3 kesimpulan:
Golongan I, mereka dengan pemahaman terhadap kondisi akan menyimpulkan, “sebenarnya saya tahu, tapi saya tidak peduli. Karena saya tidak merasa terganggu dengan keadaan tersebut
Golongan II, mereka dengan pemahaman terhadap kondisi akan menyimpulkan, “sebenarnya sayat tahu, tapi saya tidak mampu melakukan apa-apa. Itu sudah terlanjur seperti demikian
Golongan III, mereka dengan pemahaman terhadap kondisi akan menyimpulkan, “saya tahu dengan kondisi ini, dan akan berusaha merubah kondisi tersebut!!
Pertanyaannya lagi, kira-kira tindakan yang mana yang tepat terhadap kondisi diatas???
Golongan pertama adalah golongan dengan sudut pandang apatis. Mereka cenderung tidak peduli dengan kondisi selama mereka masih mampu menikmati kehidupan. Golongan kedua, mereka adalah golongan yang pasrah. Mereka memilih mengalah dengan kondisi yang ada. Menganggap segala yang ada diatas muka bumi ini tidak dapat berubah lagi, semua sudah berjalan sebagaimana mestinya. Golongan ketiga adalah golongan kritis. Mereka menganggap tidak ada kemutlakan didunia ini selain perubahan itu sendiri. Sehingga, setiap kejanggalan yang terjadi menjadi tolak ukur bagi mereka untuk melakukan tindakan.
Kembali ke pertanyaan, tindakan mana yang tepat dari kondisi diatas. Untuk menjawab itu, saya akan memberi sebuah contoh kasus lagi,
saya mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti Univ Ayam Jantan angkatan 2013. Seangkatan kami berjumlah 442 orang. Jumlah SPP yang kami bayar adalah Rp 750.000 sementara kawan dari fakultas lain yang non exact membayar SPP sebesar Rp 600.000. Menurut info yang saya dapat, perbeadaan tersebut lahir dari adanya biaya laboratorium untuk fakultas yang exact, termasuk fakultasku. Namun saat kami masuk ke dalam laboratorium untuk pratikum, kami malah mendapatkan laboratorium yang sangat tidak memadai. Alat ukur untuk praktikum yang sebenarnya tidak seberapa harganya malah tidak layak pakai.  Selang beberapa hari, kami masuk praktikum laboratorium yang lain. Hal yang lebih aneh terjadi, kami malah disuruh membeli alat-alat laboratorium yang diakhir praktikum akan di”sumbangkan” ke laboratorium.
Dengan kondisi diatas, apa yang akan kawan-kawan lakukan???
Apakah akan apatis seperti golongan pertama, atau pasrah seperti golongan kedua, atau sebaliknya kritis seperti golongan ketiga??? Apakah akan dengan santai mengatakan, “ah, itu bukan urusan saya..”, sementara orang tua dikampung sedang bekerja keras mencari uang dengan cara yang tidak gampang, atau akan dengan wajah memelas mengatakan, “mau diapakan lagi, sudah seperti demikian aturannya..” sedang jelas-jelas aturan yang ‘sebenarnya’ adalah ada sebagian uang SPP kita yang seharusnya dibelanjakan untuk keperluan laboratorium, atau dengan tegas berkata, “ini tidak benar, kita harus menuntut hak kita kembali”???
Pada akhirnya, pemahaman kita terhadap situasi atau keadaan seharusnya menjadikan kita sebagai manusia yang aktif dalam menggerakkan perubahan. Sebab, lagi-lagi saya sampaikan bahwa tidak ada sesuatu yang kekal selain perubahan itu sendiri. Materi akan selalu bergerak, itulah hukum alam. Itu bisa kita lihat dari pandangan kita terhadap perubahan sejarah. Bagaimana dahulu orang yang hanya menunggunakan alam sebagai alat-alat produksi pada hari ini kita bisa menggunakan teknologi yang lebih canggih untuk mempermudah pekerjaan kita.
Lantas, apa hubungan perubahan dengan CARA BERPIKIR YANG BENAR??
Nah, tadi telah kita bahas bahwa cara berpikir yang benar adalah cara berpikir yang menyandarkan kesimpulan terhadap kondisi objektif. Maka, dengan cara berpikir inilah kita mampu mengetahui dan mengukur keadaan. Sehingga, hanya dengan cara berpikir inilah kita mampu menentukan secara objektif langkah-langkah perjuangan kita. Sehingga langkah yang kita ambil dalam rangka penuntutan hak-hak dasar kita benar-benar konkret dan terukur sesuai dengan sumber daya yang kita punyai, bukan sebaliknya malah menggunakan cara-cara yang bersifat reaksioner dan ‘gaya-gayaan’.
SUMBER TEORI
Sebelum jauh melangkah, satu hal yang harus kita kupas, yaitu:
“Keadaan mempengaruhi Kesadaran”
Kenapa demikian???
Sebab, tingkat kesadaran manusia tidak serta-merta lahir secara instan turun dari langit. Melainkan dipengaruhi oleh keadaan yang terjadi disekitarnya. Ini bukan soal yang mana duluan, melainkan ini soal yang mana yang mempengaruhi. Lihat saja, tingkat kesadaran orang-orang yang ada dipelosok itu sangat berbeda dengan orang-orang yang ada diperkotaan. Orang yang ada dipelosok kebanyakan masih bersifat tradisional dan menyandarkan kehidupan ke alam. Sementara orang yang tinggal diperkotaan, mayoritas telah jauh dari kesan tradisional dan kehidupannya sangat bergantung pada teknologi canggih. Apa yang menyebabkan hal tersebut??? Apakah takdir Tuhan??? Saya rasa akan sangat tidak bertanggungjawab jika kita berpendapat perbedaan tersebut karena Tuhan dan menafikan kondisi atau keadaan mereka.
Kalau kita telah bersepakat tentang hal tersebut, baru layak kita melangkah ke pembahasan selanjutnya tentang sumber-sumber pikiran yang benar. Sebab  kesadaran/pikiran/teori bukan hal yang secara ‘tidak bertanggunggungjawab’ Tuhan turunkan ke akal manusia, melainkan dari berbagai proses. Dari proses itulah manusia merefleksi dan kemudian menemukan kesimpulan. Hal-hal tersebut adalah:
1. Praktek kerja produksi
Praktek kerja produksi adalah praktek manusia dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Setiap manusia untuk bertahan hidup pada dasarnya membutuhkan hal-hal pokok yang untuk mendapatkannya, manusia harus melalui proses kerja. Inilah yang disebut praktek kerja produksi. Seorang petani, dapat mendapat pengetahuan tentang cara bercocok tanam yang benar, tentang musim tanam/musim panen, itu bukan lahir dari mukjizat, melainkan dari praktek bertahun-tahun yang kemudian diajarkan secara turun temurun.
2. Praktek berjuang
Telah kita singgung di awal, bahwa hakekat tertinggi dari berpikir adalah perubahan keadaan. Sementara perubahan keadaan itu tidak serta merta lahir, melainkan melalui proses panjang perjuangan. Lalu, apa hubungannya dengan sumber pengetahuan/teori?? Jelas berhubungan, seseorang dapat mengetahui kepentingan suatu massa jika kita terlibat dalam perjuangan massa tersebut. Akan sangat tidak konkret seseorang membicarakan kepentingan perjuangan suatu kelompok jika dia bukan bagian dari perjuangan kelompok tersebut. Akan sangat tidak mungkin seorang mahasiswa membincang tentang kepentingan mahasiswa tentang laboratorium jika dia bukan bagian dari perjuangan tersebut. Sebab, dia tidak merasakan atmosfer dari perjuangan tersebut.
3.Percobaan/eksperimen
Teori yang benar adalah teori yang mampu menjawab semua keraguan dan pandangan kontra melalui eksperimen/percobaan ilmiah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa teori tersebut benar-benar bersumber dari keadaan yang terjadi. Contoh, ada teori yang mengatakan PTN-BH (PTN Berbadan Hukum) itu akan memurahkan bahkan menggratiskan kuliah. Itu baru bisa dikatakan benar jika praktek dilapangan membuktikan bahwa kampus yang telah PTN-BH benar-benar murah. Namun jika yang terjadi malah sebaliknya, maka teori bahwa PTN-BH itu memurahkan bahkan menggratiskan kuliah telah salah dengan sendirinya.
TINGKAT PENGETAHUAN MANUSIA
Sudah kita jabarkan diatas, bahwa sumber teori/pengetahuan manusia itu berssumber dari prakteknya. Semakin jauh dia melakukan praktek, maka semakin banyak teori yang dia ketahui. Untuk itu ada tingkatan-tingkatan dari pengetahuan itu sendiri:
1.      Pengetahuan Sensasional
Pengetahuan sensasional lahir dari pengamatan sepintas manusia. Dari sumbernya, bisa dikatakan bahwa pengetahuan ini masih bersifat sangat subjektif. Sebab hanya didapat dalam pengamatan sepintas saja. Contoh kasus bsa kita lihat contoh tentang laboratorium diatas. Secara sepintas saya bisa menyimpulkan bahwa alat-alat laboratorium itu tidak memadai sementara saya dan teman-teman saya telah membayar uang laboratorium sebesar Rp 150.000 setiap semester. Namun, saya tidak bisa menjelaskan apa yang menyebabkan hal tersebut, sebab pengetahuan itu hanya sampai kepada hal yang bersifat fenomenologi dan hanya kulit-kulitnya.
2.      Pengetahuan Objektif
Pengetahuan objektif adalah pengetahuan yang lebih jauh dari sensasional. Sebab dia sudah berbicara keadaan dan penyebabnya. Pengetahuan objektif adalah pengetahuan yang tidak lepas dari pengetahuan sensasional, sebab pengetahuan objektif adalah hasil dari kesimpulan terhadap pengetahuan sensasional. Sebab, dari pengetahuan sensasional tersebut menyebabkan kita untuk melakukan penyelidikan ilmiah (bahasa kerennya INVESTIGASI). Dengan kondisi laboratorium yang sangat tidak memadai dan kenyataan bahwa kita telah membayar uang utuk laboratorium menyebabkan kita melakukan penyelidikan ilmiah untuk mendapat data tentang laboratorium tersebut. Tentang tata kelola keuangan kampus, anggaran yang dikeluarkan kampus untuk fasilitas  laboratorium dan gaji tenaga laboratorium, dll. Dengan data-data tersebut, kita dapat menganalisa dan menyimpulkan alasan kenapa laboratorium tersebut memiiki fasilitas yang tidak memadai. Tantangan terbesar dalam proses pencarian data ini adalah ketiadaan keterbukaan informasi publik oleh pihak yang berwenang.
Dari pembahasan diatas, dapat dilihat bahwa tindakan yang kemudian kita lakukan setelah mendapat pengetahuan sensasional-lah yang menentukan sejauh mana kita mengetahui keadaan. Jika, kita enggan melakukan penelidikan, maka tingkat pengetahuan kita hanya akan sampai pada kesimpulan fenomena saja, tidak mengetahui sebab fenomena tersebut. Dan satu hal yang harus jadi pegangan kita bersama, adalah ‘no investigation, no rights to speak’. Sebab, tanpa investigasi/penyelidikan maka apa yang kita ucapkan adalah bualan atau tuduhan tak berdasar.
The last,

Mungkin cuma ini yang dapat saya tuliskan tentang CARA BERPIKIR YANG BENAR. Satu hal yang menjadi penekanan adalah fungsi dan kedudukan berpikir itu sendiri. Banyak yang diantara kita menempatkan berpikir sebagai alat untuk berdebat dan berdiskusi saja. Namun pertanyaanya, apakah perluasan khasanah pengetahuan melalui proses diskusi akan berdampak pada perubahan jika tidak dipraktekkan?? Saya pikir itu tidak, dan hasil debat dan diskusi seperti itu hanya akan menjadi pengaya pengetahuan saja, selebihnya tidak. Maka akan lebih maju jika kemudian proses berpikir yang lahir dari kenyataan konkret itu dipakai untuk menjadi panduan kerja dalam semangat untuk melakukan perubahan secara mendasar terhadap kehidupan kita.

1 comment:

  1. good point (y)
    saya terinspirasi karena tulisan ini bung :D cklckckc

    ReplyDelete

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Friday, April 25, 2014

BERFIKIR YANG BENAR


Berpikir berasal dari kata dasar ‘pikir’ yang artinya akal budi; ingatan; angan-angan. Sementara berpikir adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan atau memutuskan sesuatu. Sementara berpikir yang benar adalah cara berfikir yang sesuai dengan kenyataan real. Banyak orang-orang yang menempatkan asumsi sebagai acuan dalam pikirannya. Namun, pada akhirnya metode berfikir yang menempatkan asumsi sebagai acuan tidak akan pernah memberi solusi atau penjelasan konkret tentang sebuah keadaan. Sebab, pandangannya hanya bersumber dari subjektif yang berfikir tanpa dibarengi dengan bukti-bukti konkret. Sementara keadaan itu bukan bersumber dari asumsi subjektif saja.
 Untuk memperjelas itu saya akan memberi contoh kasus,
‘saya adalah mahasiswa salah satu kampus kenamaan di pulau Jawa. Suatu waktu, saya melihat sebuah berita tentang demonstrasi mahasiswa disalah satu kampus di Makassar yang berujung bentrok dengan pihak aparat keamanan. Berdasar dari hal tersebut, saya langsung menilai bahwa mahasiswa makassar itu anarkis, brutal, dan tukang berkelahi’
Apakah pendapat saya benar???
Tentu, pendapat ini salah. Sebab, dalam kasus ini saya secara semena-mena menilai teman-teman mahasiswa Makassar tanpa melakukan penelusuran lebih lanjut dari berita yang diedarkan oleh media.
 Tapi, mengapa kita mesti berpikir yang benar???
Jika melihat ke contoh yang ada tadi. Maka dapat kita tentukan bahwa tujuan berpikir yang benar adalah untuk mengetahui secara konkret dan objektif keadaan yang terjadi. Dengan berfikir yang benar dengan menempatkan keadaan konkret sebagai sumber ukuran bukan sebaliknya menggunakan asumsi yang subjektif, maka secara konkret kita dapat mengukur dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dengan demikian, kita dapat menemukan kesimpulan yang konkret berdasar pada pemahaman terhadap situasi yang konkret pula.
Setelah mengetahui keadaan secara konkret, lantas apa yang akan kita lakukan??
Dalam hal ini kurang lebih manusia dapat dikelompokkan pada 3 kesimpulan:
Golongan I, mereka dengan pemahaman terhadap kondisi akan menyimpulkan, “sebenarnya saya tahu, tapi saya tidak peduli. Karena saya tidak merasa terganggu dengan keadaan tersebut
Golongan II, mereka dengan pemahaman terhadap kondisi akan menyimpulkan, “sebenarnya sayat tahu, tapi saya tidak mampu melakukan apa-apa. Itu sudah terlanjur seperti demikian
Golongan III, mereka dengan pemahaman terhadap kondisi akan menyimpulkan, “saya tahu dengan kondisi ini, dan akan berusaha merubah kondisi tersebut!!
Pertanyaannya lagi, kira-kira tindakan yang mana yang tepat terhadap kondisi diatas???
Golongan pertama adalah golongan dengan sudut pandang apatis. Mereka cenderung tidak peduli dengan kondisi selama mereka masih mampu menikmati kehidupan. Golongan kedua, mereka adalah golongan yang pasrah. Mereka memilih mengalah dengan kondisi yang ada. Menganggap segala yang ada diatas muka bumi ini tidak dapat berubah lagi, semua sudah berjalan sebagaimana mestinya. Golongan ketiga adalah golongan kritis. Mereka menganggap tidak ada kemutlakan didunia ini selain perubahan itu sendiri. Sehingga, setiap kejanggalan yang terjadi menjadi tolak ukur bagi mereka untuk melakukan tindakan.
Kembali ke pertanyaan, tindakan mana yang tepat dari kondisi diatas. Untuk menjawab itu, saya akan memberi sebuah contoh kasus lagi,
saya mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti Univ Ayam Jantan angkatan 2013. Seangkatan kami berjumlah 442 orang. Jumlah SPP yang kami bayar adalah Rp 750.000 sementara kawan dari fakultas lain yang non exact membayar SPP sebesar Rp 600.000. Menurut info yang saya dapat, perbeadaan tersebut lahir dari adanya biaya laboratorium untuk fakultas yang exact, termasuk fakultasku. Namun saat kami masuk ke dalam laboratorium untuk pratikum, kami malah mendapatkan laboratorium yang sangat tidak memadai. Alat ukur untuk praktikum yang sebenarnya tidak seberapa harganya malah tidak layak pakai.  Selang beberapa hari, kami masuk praktikum laboratorium yang lain. Hal yang lebih aneh terjadi, kami malah disuruh membeli alat-alat laboratorium yang diakhir praktikum akan di”sumbangkan” ke laboratorium.
Dengan kondisi diatas, apa yang akan kawan-kawan lakukan???
Apakah akan apatis seperti golongan pertama, atau pasrah seperti golongan kedua, atau sebaliknya kritis seperti golongan ketiga??? Apakah akan dengan santai mengatakan, “ah, itu bukan urusan saya..”, sementara orang tua dikampung sedang bekerja keras mencari uang dengan cara yang tidak gampang, atau akan dengan wajah memelas mengatakan, “mau diapakan lagi, sudah seperti demikian aturannya..” sedang jelas-jelas aturan yang ‘sebenarnya’ adalah ada sebagian uang SPP kita yang seharusnya dibelanjakan untuk keperluan laboratorium, atau dengan tegas berkata, “ini tidak benar, kita harus menuntut hak kita kembali”???
Pada akhirnya, pemahaman kita terhadap situasi atau keadaan seharusnya menjadikan kita sebagai manusia yang aktif dalam menggerakkan perubahan. Sebab, lagi-lagi saya sampaikan bahwa tidak ada sesuatu yang kekal selain perubahan itu sendiri. Materi akan selalu bergerak, itulah hukum alam. Itu bisa kita lihat dari pandangan kita terhadap perubahan sejarah. Bagaimana dahulu orang yang hanya menunggunakan alam sebagai alat-alat produksi pada hari ini kita bisa menggunakan teknologi yang lebih canggih untuk mempermudah pekerjaan kita.
Lantas, apa hubungan perubahan dengan CARA BERPIKIR YANG BENAR??
Nah, tadi telah kita bahas bahwa cara berpikir yang benar adalah cara berpikir yang menyandarkan kesimpulan terhadap kondisi objektif. Maka, dengan cara berpikir inilah kita mampu mengetahui dan mengukur keadaan. Sehingga, hanya dengan cara berpikir inilah kita mampu menentukan secara objektif langkah-langkah perjuangan kita. Sehingga langkah yang kita ambil dalam rangka penuntutan hak-hak dasar kita benar-benar konkret dan terukur sesuai dengan sumber daya yang kita punyai, bukan sebaliknya malah menggunakan cara-cara yang bersifat reaksioner dan ‘gaya-gayaan’.
SUMBER TEORI
Sebelum jauh melangkah, satu hal yang harus kita kupas, yaitu:
“Keadaan mempengaruhi Kesadaran”
Kenapa demikian???
Sebab, tingkat kesadaran manusia tidak serta-merta lahir secara instan turun dari langit. Melainkan dipengaruhi oleh keadaan yang terjadi disekitarnya. Ini bukan soal yang mana duluan, melainkan ini soal yang mana yang mempengaruhi. Lihat saja, tingkat kesadaran orang-orang yang ada dipelosok itu sangat berbeda dengan orang-orang yang ada diperkotaan. Orang yang ada dipelosok kebanyakan masih bersifat tradisional dan menyandarkan kehidupan ke alam. Sementara orang yang tinggal diperkotaan, mayoritas telah jauh dari kesan tradisional dan kehidupannya sangat bergantung pada teknologi canggih. Apa yang menyebabkan hal tersebut??? Apakah takdir Tuhan??? Saya rasa akan sangat tidak bertanggungjawab jika kita berpendapat perbedaan tersebut karena Tuhan dan menafikan kondisi atau keadaan mereka.
Kalau kita telah bersepakat tentang hal tersebut, baru layak kita melangkah ke pembahasan selanjutnya tentang sumber-sumber pikiran yang benar. Sebab  kesadaran/pikiran/teori bukan hal yang secara ‘tidak bertanggunggungjawab’ Tuhan turunkan ke akal manusia, melainkan dari berbagai proses. Dari proses itulah manusia merefleksi dan kemudian menemukan kesimpulan. Hal-hal tersebut adalah:
1. Praktek kerja produksi
Praktek kerja produksi adalah praktek manusia dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Setiap manusia untuk bertahan hidup pada dasarnya membutuhkan hal-hal pokok yang untuk mendapatkannya, manusia harus melalui proses kerja. Inilah yang disebut praktek kerja produksi. Seorang petani, dapat mendapat pengetahuan tentang cara bercocok tanam yang benar, tentang musim tanam/musim panen, itu bukan lahir dari mukjizat, melainkan dari praktek bertahun-tahun yang kemudian diajarkan secara turun temurun.
2. Praktek berjuang
Telah kita singgung di awal, bahwa hakekat tertinggi dari berpikir adalah perubahan keadaan. Sementara perubahan keadaan itu tidak serta merta lahir, melainkan melalui proses panjang perjuangan. Lalu, apa hubungannya dengan sumber pengetahuan/teori?? Jelas berhubungan, seseorang dapat mengetahui kepentingan suatu massa jika kita terlibat dalam perjuangan massa tersebut. Akan sangat tidak konkret seseorang membicarakan kepentingan perjuangan suatu kelompok jika dia bukan bagian dari perjuangan kelompok tersebut. Akan sangat tidak mungkin seorang mahasiswa membincang tentang kepentingan mahasiswa tentang laboratorium jika dia bukan bagian dari perjuangan tersebut. Sebab, dia tidak merasakan atmosfer dari perjuangan tersebut.
3.Percobaan/eksperimen
Teori yang benar adalah teori yang mampu menjawab semua keraguan dan pandangan kontra melalui eksperimen/percobaan ilmiah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa teori tersebut benar-benar bersumber dari keadaan yang terjadi. Contoh, ada teori yang mengatakan PTN-BH (PTN Berbadan Hukum) itu akan memurahkan bahkan menggratiskan kuliah. Itu baru bisa dikatakan benar jika praktek dilapangan membuktikan bahwa kampus yang telah PTN-BH benar-benar murah. Namun jika yang terjadi malah sebaliknya, maka teori bahwa PTN-BH itu memurahkan bahkan menggratiskan kuliah telah salah dengan sendirinya.
TINGKAT PENGETAHUAN MANUSIA
Sudah kita jabarkan diatas, bahwa sumber teori/pengetahuan manusia itu berssumber dari prakteknya. Semakin jauh dia melakukan praktek, maka semakin banyak teori yang dia ketahui. Untuk itu ada tingkatan-tingkatan dari pengetahuan itu sendiri:
1.      Pengetahuan Sensasional
Pengetahuan sensasional lahir dari pengamatan sepintas manusia. Dari sumbernya, bisa dikatakan bahwa pengetahuan ini masih bersifat sangat subjektif. Sebab hanya didapat dalam pengamatan sepintas saja. Contoh kasus bsa kita lihat contoh tentang laboratorium diatas. Secara sepintas saya bisa menyimpulkan bahwa alat-alat laboratorium itu tidak memadai sementara saya dan teman-teman saya telah membayar uang laboratorium sebesar Rp 150.000 setiap semester. Namun, saya tidak bisa menjelaskan apa yang menyebabkan hal tersebut, sebab pengetahuan itu hanya sampai kepada hal yang bersifat fenomenologi dan hanya kulit-kulitnya.
2.      Pengetahuan Objektif
Pengetahuan objektif adalah pengetahuan yang lebih jauh dari sensasional. Sebab dia sudah berbicara keadaan dan penyebabnya. Pengetahuan objektif adalah pengetahuan yang tidak lepas dari pengetahuan sensasional, sebab pengetahuan objektif adalah hasil dari kesimpulan terhadap pengetahuan sensasional. Sebab, dari pengetahuan sensasional tersebut menyebabkan kita untuk melakukan penyelidikan ilmiah (bahasa kerennya INVESTIGASI). Dengan kondisi laboratorium yang sangat tidak memadai dan kenyataan bahwa kita telah membayar uang utuk laboratorium menyebabkan kita melakukan penyelidikan ilmiah untuk mendapat data tentang laboratorium tersebut. Tentang tata kelola keuangan kampus, anggaran yang dikeluarkan kampus untuk fasilitas  laboratorium dan gaji tenaga laboratorium, dll. Dengan data-data tersebut, kita dapat menganalisa dan menyimpulkan alasan kenapa laboratorium tersebut memiiki fasilitas yang tidak memadai. Tantangan terbesar dalam proses pencarian data ini adalah ketiadaan keterbukaan informasi publik oleh pihak yang berwenang.
Dari pembahasan diatas, dapat dilihat bahwa tindakan yang kemudian kita lakukan setelah mendapat pengetahuan sensasional-lah yang menentukan sejauh mana kita mengetahui keadaan. Jika, kita enggan melakukan penelidikan, maka tingkat pengetahuan kita hanya akan sampai pada kesimpulan fenomena saja, tidak mengetahui sebab fenomena tersebut. Dan satu hal yang harus jadi pegangan kita bersama, adalah ‘no investigation, no rights to speak’. Sebab, tanpa investigasi/penyelidikan maka apa yang kita ucapkan adalah bualan atau tuduhan tak berdasar.
The last,

Mungkin cuma ini yang dapat saya tuliskan tentang CARA BERPIKIR YANG BENAR. Satu hal yang menjadi penekanan adalah fungsi dan kedudukan berpikir itu sendiri. Banyak yang diantara kita menempatkan berpikir sebagai alat untuk berdebat dan berdiskusi saja. Namun pertanyaanya, apakah perluasan khasanah pengetahuan melalui proses diskusi akan berdampak pada perubahan jika tidak dipraktekkan?? Saya pikir itu tidak, dan hasil debat dan diskusi seperti itu hanya akan menjadi pengaya pengetahuan saja, selebihnya tidak. Maka akan lebih maju jika kemudian proses berpikir yang lahir dari kenyataan konkret itu dipakai untuk menjadi panduan kerja dalam semangat untuk melakukan perubahan secara mendasar terhadap kehidupan kita.

1 comment:

  1. good point (y)
    saya terinspirasi karena tulisan ini bung :D cklckckc

    ReplyDelete

Friday, April 25, 2014

BERFIKIR YANG BENAR


Berpikir berasal dari kata dasar ‘pikir’ yang artinya akal budi; ingatan; angan-angan. Sementara berpikir adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan atau memutuskan sesuatu. Sementara berpikir yang benar adalah cara berfikir yang sesuai dengan kenyataan real. Banyak orang-orang yang menempatkan asumsi sebagai acuan dalam pikirannya. Namun, pada akhirnya metode berfikir yang menempatkan asumsi sebagai acuan tidak akan pernah memberi solusi atau penjelasan konkret tentang sebuah keadaan. Sebab, pandangannya hanya bersumber dari subjektif yang berfikir tanpa dibarengi dengan bukti-bukti konkret. Sementara keadaan itu bukan bersumber dari asumsi subjektif saja.
 Untuk memperjelas itu saya akan memberi contoh kasus,
‘saya adalah mahasiswa salah satu kampus kenamaan di pulau Jawa. Suatu waktu, saya melihat sebuah berita tentang demonstrasi mahasiswa disalah satu kampus di Makassar yang berujung bentrok dengan pihak aparat keamanan. Berdasar dari hal tersebut, saya langsung menilai bahwa mahasiswa makassar itu anarkis, brutal, dan tukang berkelahi’
Apakah pendapat saya benar???
Tentu, pendapat ini salah. Sebab, dalam kasus ini saya secara semena-mena menilai teman-teman mahasiswa Makassar tanpa melakukan penelusuran lebih lanjut dari berita yang diedarkan oleh media.
 Tapi, mengapa kita mesti berpikir yang benar???
Jika melihat ke contoh yang ada tadi. Maka dapat kita tentukan bahwa tujuan berpikir yang benar adalah untuk mengetahui secara konkret dan objektif keadaan yang terjadi. Dengan berfikir yang benar dengan menempatkan keadaan konkret sebagai sumber ukuran bukan sebaliknya menggunakan asumsi yang subjektif, maka secara konkret kita dapat mengukur dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dengan demikian, kita dapat menemukan kesimpulan yang konkret berdasar pada pemahaman terhadap situasi yang konkret pula.
Setelah mengetahui keadaan secara konkret, lantas apa yang akan kita lakukan??
Dalam hal ini kurang lebih manusia dapat dikelompokkan pada 3 kesimpulan:
Golongan I, mereka dengan pemahaman terhadap kondisi akan menyimpulkan, “sebenarnya saya tahu, tapi saya tidak peduli. Karena saya tidak merasa terganggu dengan keadaan tersebut
Golongan II, mereka dengan pemahaman terhadap kondisi akan menyimpulkan, “sebenarnya sayat tahu, tapi saya tidak mampu melakukan apa-apa. Itu sudah terlanjur seperti demikian
Golongan III, mereka dengan pemahaman terhadap kondisi akan menyimpulkan, “saya tahu dengan kondisi ini, dan akan berusaha merubah kondisi tersebut!!
Pertanyaannya lagi, kira-kira tindakan yang mana yang tepat terhadap kondisi diatas???
Golongan pertama adalah golongan dengan sudut pandang apatis. Mereka cenderung tidak peduli dengan kondisi selama mereka masih mampu menikmati kehidupan. Golongan kedua, mereka adalah golongan yang pasrah. Mereka memilih mengalah dengan kondisi yang ada. Menganggap segala yang ada diatas muka bumi ini tidak dapat berubah lagi, semua sudah berjalan sebagaimana mestinya. Golongan ketiga adalah golongan kritis. Mereka menganggap tidak ada kemutlakan didunia ini selain perubahan itu sendiri. Sehingga, setiap kejanggalan yang terjadi menjadi tolak ukur bagi mereka untuk melakukan tindakan.
Kembali ke pertanyaan, tindakan mana yang tepat dari kondisi diatas. Untuk menjawab itu, saya akan memberi sebuah contoh kasus lagi,
saya mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti Univ Ayam Jantan angkatan 2013. Seangkatan kami berjumlah 442 orang. Jumlah SPP yang kami bayar adalah Rp 750.000 sementara kawan dari fakultas lain yang non exact membayar SPP sebesar Rp 600.000. Menurut info yang saya dapat, perbeadaan tersebut lahir dari adanya biaya laboratorium untuk fakultas yang exact, termasuk fakultasku. Namun saat kami masuk ke dalam laboratorium untuk pratikum, kami malah mendapatkan laboratorium yang sangat tidak memadai. Alat ukur untuk praktikum yang sebenarnya tidak seberapa harganya malah tidak layak pakai.  Selang beberapa hari, kami masuk praktikum laboratorium yang lain. Hal yang lebih aneh terjadi, kami malah disuruh membeli alat-alat laboratorium yang diakhir praktikum akan di”sumbangkan” ke laboratorium.
Dengan kondisi diatas, apa yang akan kawan-kawan lakukan???
Apakah akan apatis seperti golongan pertama, atau pasrah seperti golongan kedua, atau sebaliknya kritis seperti golongan ketiga??? Apakah akan dengan santai mengatakan, “ah, itu bukan urusan saya..”, sementara orang tua dikampung sedang bekerja keras mencari uang dengan cara yang tidak gampang, atau akan dengan wajah memelas mengatakan, “mau diapakan lagi, sudah seperti demikian aturannya..” sedang jelas-jelas aturan yang ‘sebenarnya’ adalah ada sebagian uang SPP kita yang seharusnya dibelanjakan untuk keperluan laboratorium, atau dengan tegas berkata, “ini tidak benar, kita harus menuntut hak kita kembali”???
Pada akhirnya, pemahaman kita terhadap situasi atau keadaan seharusnya menjadikan kita sebagai manusia yang aktif dalam menggerakkan perubahan. Sebab, lagi-lagi saya sampaikan bahwa tidak ada sesuatu yang kekal selain perubahan itu sendiri. Materi akan selalu bergerak, itulah hukum alam. Itu bisa kita lihat dari pandangan kita terhadap perubahan sejarah. Bagaimana dahulu orang yang hanya menunggunakan alam sebagai alat-alat produksi pada hari ini kita bisa menggunakan teknologi yang lebih canggih untuk mempermudah pekerjaan kita.
Lantas, apa hubungan perubahan dengan CARA BERPIKIR YANG BENAR??
Nah, tadi telah kita bahas bahwa cara berpikir yang benar adalah cara berpikir yang menyandarkan kesimpulan terhadap kondisi objektif. Maka, dengan cara berpikir inilah kita mampu mengetahui dan mengukur keadaan. Sehingga, hanya dengan cara berpikir inilah kita mampu menentukan secara objektif langkah-langkah perjuangan kita. Sehingga langkah yang kita ambil dalam rangka penuntutan hak-hak dasar kita benar-benar konkret dan terukur sesuai dengan sumber daya yang kita punyai, bukan sebaliknya malah menggunakan cara-cara yang bersifat reaksioner dan ‘gaya-gayaan’.
SUMBER TEORI
Sebelum jauh melangkah, satu hal yang harus kita kupas, yaitu:
“Keadaan mempengaruhi Kesadaran”
Kenapa demikian???
Sebab, tingkat kesadaran manusia tidak serta-merta lahir secara instan turun dari langit. Melainkan dipengaruhi oleh keadaan yang terjadi disekitarnya. Ini bukan soal yang mana duluan, melainkan ini soal yang mana yang mempengaruhi. Lihat saja, tingkat kesadaran orang-orang yang ada dipelosok itu sangat berbeda dengan orang-orang yang ada diperkotaan. Orang yang ada dipelosok kebanyakan masih bersifat tradisional dan menyandarkan kehidupan ke alam. Sementara orang yang tinggal diperkotaan, mayoritas telah jauh dari kesan tradisional dan kehidupannya sangat bergantung pada teknologi canggih. Apa yang menyebabkan hal tersebut??? Apakah takdir Tuhan??? Saya rasa akan sangat tidak bertanggungjawab jika kita berpendapat perbedaan tersebut karena Tuhan dan menafikan kondisi atau keadaan mereka.
Kalau kita telah bersepakat tentang hal tersebut, baru layak kita melangkah ke pembahasan selanjutnya tentang sumber-sumber pikiran yang benar. Sebab  kesadaran/pikiran/teori bukan hal yang secara ‘tidak bertanggunggungjawab’ Tuhan turunkan ke akal manusia, melainkan dari berbagai proses. Dari proses itulah manusia merefleksi dan kemudian menemukan kesimpulan. Hal-hal tersebut adalah:
1. Praktek kerja produksi
Praktek kerja produksi adalah praktek manusia dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Setiap manusia untuk bertahan hidup pada dasarnya membutuhkan hal-hal pokok yang untuk mendapatkannya, manusia harus melalui proses kerja. Inilah yang disebut praktek kerja produksi. Seorang petani, dapat mendapat pengetahuan tentang cara bercocok tanam yang benar, tentang musim tanam/musim panen, itu bukan lahir dari mukjizat, melainkan dari praktek bertahun-tahun yang kemudian diajarkan secara turun temurun.
2. Praktek berjuang
Telah kita singgung di awal, bahwa hakekat tertinggi dari berpikir adalah perubahan keadaan. Sementara perubahan keadaan itu tidak serta merta lahir, melainkan melalui proses panjang perjuangan. Lalu, apa hubungannya dengan sumber pengetahuan/teori?? Jelas berhubungan, seseorang dapat mengetahui kepentingan suatu massa jika kita terlibat dalam perjuangan massa tersebut. Akan sangat tidak konkret seseorang membicarakan kepentingan perjuangan suatu kelompok jika dia bukan bagian dari perjuangan kelompok tersebut. Akan sangat tidak mungkin seorang mahasiswa membincang tentang kepentingan mahasiswa tentang laboratorium jika dia bukan bagian dari perjuangan tersebut. Sebab, dia tidak merasakan atmosfer dari perjuangan tersebut.
3.Percobaan/eksperimen
Teori yang benar adalah teori yang mampu menjawab semua keraguan dan pandangan kontra melalui eksperimen/percobaan ilmiah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa teori tersebut benar-benar bersumber dari keadaan yang terjadi. Contoh, ada teori yang mengatakan PTN-BH (PTN Berbadan Hukum) itu akan memurahkan bahkan menggratiskan kuliah. Itu baru bisa dikatakan benar jika praktek dilapangan membuktikan bahwa kampus yang telah PTN-BH benar-benar murah. Namun jika yang terjadi malah sebaliknya, maka teori bahwa PTN-BH itu memurahkan bahkan menggratiskan kuliah telah salah dengan sendirinya.
TINGKAT PENGETAHUAN MANUSIA
Sudah kita jabarkan diatas, bahwa sumber teori/pengetahuan manusia itu berssumber dari prakteknya. Semakin jauh dia melakukan praktek, maka semakin banyak teori yang dia ketahui. Untuk itu ada tingkatan-tingkatan dari pengetahuan itu sendiri:
1.      Pengetahuan Sensasional
Pengetahuan sensasional lahir dari pengamatan sepintas manusia. Dari sumbernya, bisa dikatakan bahwa pengetahuan ini masih bersifat sangat subjektif. Sebab hanya didapat dalam pengamatan sepintas saja. Contoh kasus bsa kita lihat contoh tentang laboratorium diatas. Secara sepintas saya bisa menyimpulkan bahwa alat-alat laboratorium itu tidak memadai sementara saya dan teman-teman saya telah membayar uang laboratorium sebesar Rp 150.000 setiap semester. Namun, saya tidak bisa menjelaskan apa yang menyebabkan hal tersebut, sebab pengetahuan itu hanya sampai kepada hal yang bersifat fenomenologi dan hanya kulit-kulitnya.
2.      Pengetahuan Objektif
Pengetahuan objektif adalah pengetahuan yang lebih jauh dari sensasional. Sebab dia sudah berbicara keadaan dan penyebabnya. Pengetahuan objektif adalah pengetahuan yang tidak lepas dari pengetahuan sensasional, sebab pengetahuan objektif adalah hasil dari kesimpulan terhadap pengetahuan sensasional. Sebab, dari pengetahuan sensasional tersebut menyebabkan kita untuk melakukan penyelidikan ilmiah (bahasa kerennya INVESTIGASI). Dengan kondisi laboratorium yang sangat tidak memadai dan kenyataan bahwa kita telah membayar uang utuk laboratorium menyebabkan kita melakukan penyelidikan ilmiah untuk mendapat data tentang laboratorium tersebut. Tentang tata kelola keuangan kampus, anggaran yang dikeluarkan kampus untuk fasilitas  laboratorium dan gaji tenaga laboratorium, dll. Dengan data-data tersebut, kita dapat menganalisa dan menyimpulkan alasan kenapa laboratorium tersebut memiiki fasilitas yang tidak memadai. Tantangan terbesar dalam proses pencarian data ini adalah ketiadaan keterbukaan informasi publik oleh pihak yang berwenang.
Dari pembahasan diatas, dapat dilihat bahwa tindakan yang kemudian kita lakukan setelah mendapat pengetahuan sensasional-lah yang menentukan sejauh mana kita mengetahui keadaan. Jika, kita enggan melakukan penelidikan, maka tingkat pengetahuan kita hanya akan sampai pada kesimpulan fenomena saja, tidak mengetahui sebab fenomena tersebut. Dan satu hal yang harus jadi pegangan kita bersama, adalah ‘no investigation, no rights to speak’. Sebab, tanpa investigasi/penyelidikan maka apa yang kita ucapkan adalah bualan atau tuduhan tak berdasar.
The last,

Mungkin cuma ini yang dapat saya tuliskan tentang CARA BERPIKIR YANG BENAR. Satu hal yang menjadi penekanan adalah fungsi dan kedudukan berpikir itu sendiri. Banyak yang diantara kita menempatkan berpikir sebagai alat untuk berdebat dan berdiskusi saja. Namun pertanyaanya, apakah perluasan khasanah pengetahuan melalui proses diskusi akan berdampak pada perubahan jika tidak dipraktekkan?? Saya pikir itu tidak, dan hasil debat dan diskusi seperti itu hanya akan menjadi pengaya pengetahuan saja, selebihnya tidak. Maka akan lebih maju jika kemudian proses berpikir yang lahir dari kenyataan konkret itu dipakai untuk menjadi panduan kerja dalam semangat untuk melakukan perubahan secara mendasar terhadap kehidupan kita.

1 comment:

  1. good point (y)
    saya terinspirasi karena tulisan ini bung :D cklckckc

    ReplyDelete