#kisah pilu seorang mahasiswa
baru…
Namaku Baco’, anak bungsu dari 3
bersaudaran keluarga petani. Tanah orang tuaku dikampung tak terlalu luas.
Kurang dari 1 hektar. Dalam keadaan itu mereka sadar, tidak ada harta benda
yang mampu mereka sisakan kepada kami. Maka, satu harapan besar mereka adalah
dengan menyekolahkan anak-anaknya untuk dapat bekal ilmu demi menyongsong masa
depan. Ibarat kata, selembar ijazahlah dan segudang ilmu yang mereka ingin
berikan kepada anak-anaknya. Harapan besar mereka dengan ilmu itu kami mampu
memperbaiki hidup hingga tak alami kesulitan seperti mereka.
Berbekal mendapat beasiswa untuk
orang mampu dari Negara aku mendapat tiket
lanjut kuliah dikampus terbaik diprovinsi seberang. Cita-cita besar
orang tua ada dipundak. Sempat ku Tanya mereka dari mana mereka dapat uang
menghidupi ku di tanah orang, sebab beasiswaku tak setiap waktu cair. Jawabnya
singkat, “jalani saja dulu nak, inshaa allah ada jalan”. Betapa pilu hatiku
mendengar itu, sebab ku tahu penghasilan mereka sangat sulit untuk penuhi
kebutuhan mereka dikampung. Lantas sekarang, aku dikota akan jadi beban pikiran
mereka. Disaat yang sama, kedua kakakku belum mendapat kerja yang layak.
Penghasilannya hanya cukup untuk penuhi kebutuhan sendirinya. Akhirnya, dengan
cita-cita besar kuangkat koperku meninggalkan tanah kelahiran dengan tekad dan
cita-cita besar. “aku harus mampu merubah nasib keluarga, HARUS”
Dengan modal seadanya akhirnya ku
pijak ibukota provinsi seberang. Saat ku dapati kampusku, sepintas ku lihat
demikian megah. Pepohonan rindang menemani semenjak pintu masuk hingga
mengelilingi kampus. Danau da air mancur ada dimuka gerbang. Sebuah kebun
binatang menjadi penyambut pertama. Aku terpesona. Aku lulus disalah satu
jurusan disebuah fakultas yang sangat jarang peminatnya di Negaraku, Fakultas
Ilmu Pasti. Wajar saja, kata orang lapangan kerja bagi lulusannya sangat kurang
disini. Tappi itu sudah bukan masalah besar bagiku, setidaknya aku memiliki
kesempatan untuk merasakan berkuliah disebuah kampus besar yang dikampungku
sangat terkenal dengan kualitasnya.
Untung tak dapat ditolak,
kecelakaan pun datang. Dengan asumsi aku mendapat beasiswa, kampus memaksaku
dan semua teman-temanku yang juga mendapat beasiswa untuk membayar biaya kuliah
sama dengan anak-anak pejabat (di
negaraku kawan, kampus sangat akrab dengan kata ‘kaya’ dan ‘miskin’. Biaya
kuliah yang kaya dan miskin beda dengan alasan ‘keadilan’). Akhirnya,
beasiswaku tiap semester harus hilang hanya untuk bayar uang kuliah. Tapi, aku
tetap sabar. Dengan setengah dari beasiswaku ku pikir cukup bagiku. Hanya saja
keadaan kurang beruntung nampaknya sangat identik dengan kehidupanku. Dalam
kepasrahan akibat paksaan menerima uang kuliah yang disamakan dengan orang
‘kaya’ (walau aku hanya anak bungsu dari
keluarga tani miskin), belakangan isu beredar beasiswaku yang hanya kudapat
akan dipotong setengah lagi. Bagiku ini sangat tidak mencukupi. Lagipula,
beasiswa itu ku dapat karena aku seorang yang ‘miskin dan berprestai’ (demikian
kalimat dalam Undang-Undang), lantas kenapa mesti disejajarkan dengan orang
kaya lalu beasiswaku dipotong-potong pula??? Apa mungkin Negara ini tak berniat
memberi beasiswa dan ini hanya sekedar barang kampanye saja??? Atau kampusku
lah yang terlalu rakus dalam melihat uang hingga halalkan segala cara??? Atau
mungkin ini buah kerja sama dari keduanya???
Aghhh…
Inilah nasibku sebagai seorang
anak tani miskin yang hendak bersekolah. Aku tak berharap kalian kasihan, aku
tak butuh. Hanya saja, keyakinanku berkata bahwa ini tak hanya terjadi padaku.
Entah berapa anak tani miskin ditanah yang katanya negeri agraria, negeri para
petani ini yang mengalami hal yang sama. atau mungkin ada yang mengalami nasib
yang lebih parah dariku. Sedikit pelipur lara dan menjadi api semangat buatku
adalah pesan manis dari seniorku, “kau
harus berorganisasi. Dengan berorganisasi, kita bisa menyatukan semua
kawan-kawan kita dan hadapi semua sama-sama”
Sama kaya kisah yg aku alami, salam kenal saya riyanto,
ReplyDeletesalam kenal...
ReplyDeletefakultas apaki?