pesan si Mbah

MENULIS adalah bekerja untuk KEABADIAN...

MERDEKA ATAU BUDAK?

suatu sore diawal pekan aku berdiri ditengah taman dan tak tahu hendak kemana. dalam kebingungan lantas aku bertanyaa kepada mereka yang duduk berkumpul. 'disini daerah apa yah..??', tanyaku. 'memangnya anda hendak kemana?? kalau ingin merdeka, silahkan turun ditangga itu disana ada sebuah koridor mungil tempat orang-orang merdeka bebas berkreasi. kalau hendak menjadi budak, digedung bagian sana ada sebuah tangga berpagar jeruji, naiklah kesana dan biarkan dirimu terpenjara oleh dogma-dogma dan sejuta ketakutan disana..'.

MEMBACA

kata orang, membaca itu membuka jendela dunia. jadi, mereka yg membaca telah membuka pikiran mereka dari kungkungan pikiran dan paham lama dengan mempelajari teori-teori baru, apalagi kalau dia mampu membandingkannya dengan praktek dilapangan. maka, jika membaca itu bisa 'membuka jendela dunia', bisa kita katakan jika mereka yang memfasilitasi orang-orang membaca telah 'membukakan jendela dunia' bagi yang lainnya. .

Tanah MELIMPAH, PETANI MELUMPUH

sawah luas tapi petani tak bertanah. sebab tanah bukan milik petani tapi milik tuan tanah yang punya sawah tapi tak bertani, hanya menunggu hasil jerih payah sang buruh tani. dikau bertanya kenapa??? sebab tirani telah tumbuh subur diatas tanah kita, negeri milik para petani..!!

Organisasi Itu Harus MENCERDASKAN

organisasi yang mendidik adalah organisasi yang memberi manfaat bagi anggota, memberi pengetahuan bagi anggota, mencerdaskan, dan mampu menjadi alat pembebasan bagi anggota.

Friday, February 28, 2014

CERITA 30 TAHUN YANG LALU

#sebuah kisah diatas tanah kami…
Terik..
Matahari bersinar sangat cerah. Disini, diatas sepetak tanah yang memberiku kehidupan ini, sepetak sawah yang tak seberapa namun begitu berharga. Ku baringkan badanku diatas pondok kecil yang sengaja kubangun sebagai tempat beirstirahat di saat-saat seperti ini. Pikiranku menerawang. Disini, ditanah yang tak seberapa ini aku menyandar kehidupan di umur yang telah renta. Tanah yang tak seberapa, namun bukan hal mudah untuk mendapatkannya. Butuh perjuangan yang tidak mudah. Butuh kekuatan dan kesabaran untuk setidaknya mengambil tanah ini lagi, setelah sekian tahun terusir dan terasing, serta hidup miskin diatas tanah yang kaya ini. Ceritanya bermula 30 tahun yang lalu.
***

Monday, February 17, 2014

Malam Ini Begitu Dingin

Namaku Alessandro, umurku 22 tahun. Aku bekerja di sebuah kampus yang punya nama besar. Kampus dunia, demikian mereka menyebutnya. Kampus yang memiliki banyak professor yang tentu cerdas pikirku. Mahasiswanya kritis, pembela masyarakat kecil, itu ku anggap karena mahasiswa kampus ini selalu memadati jalan setiap harga BBM naik, atau ada isu korupsi pejabat Negara. Kampus yang katanya terbesar di Indonesia timur. Kalian jangan salah sangka, aku disini bekerja sebagai pemulung, pekerjaan yang menurutku cukup layak untuk orang yang tak pernah sekolah sepertiku. Kadang aku merasa iri, melihat merreka yang sebenarnya banyak yang seumuranku. Tapi apa hendak ku kata, telah demikianlah Tuhan menuliskan takdirku dalam lembar kehidupan. Aku hanya bisa bersabar, sebagaimana saran para ustadz saat aku mendengar khutbah jum’at. Kata mereka, Tuhan dekat dengan orang yang sabar.
***

Thursday, February 13, 2014

Lorong Hitam

Sesaat ketika akhirnya ku sadar..
Mata melotot..
Akhirnya semua lukisan hancur juga, yang tersisa di sisi kiri kanan hanya sebuah tembok keras tanpa cahaya. Belum lagi kaki melangkah, tubuh sudah gemetaran, keringat telah menderasi sekujur tubuh, suara sudah terhsak sebab tangis ketakutan tak juga tertahankan. Batal. Letak kaki ku rapikan kembali. Seketika tubuh terkulai juga, sebab ketakutan merampok semua energi yang tersisa. Ku peluk kedua kaki ku erat. Sangat erat. Gigilan badan semakin menjadi walau sebenarnya udara hanya bertiup sepoi. Mata ku pejamkan sekuat tenaga berharap mimpi kembali menjemput. Tapi kesadaran tak juga hendak berlalu dari badan ini, badan yang terperangkap dalam sebuah lorong hitam.

Tuesday, February 11, 2014

Haruskah Kita



#sebuah pandangan sederhana..
Jika kita miskin, haruskah kita menggerutu pada Tuhan???
Haruskah marah pada-Nya???
Mempertanyakan “takdir”-Nya yang sedemikian pedih. Saat kita kelaparaan, sebab saku pakaian tak juga berisikan uang. Melamun dalam kisah sendu penuh amarah pada-Nya. Saat kita menggigil dalam pesakitan di rumah-rumah kita (yang mungkin rumah itu adalah kolong jembatan layang) karena sakit sedang kita tak mampu membayar uang perawatan rumah sakit, bahkan tak sanggup untuk membeli obat sekalipun. Saat anak-anak kita tak mampu bersekolah karena uang SPP sekolahan yang mahal.
Haruskah mempersalahkan Tuhan???
Atau “takdir” Tuhan???
(pertanyaan yang menurutku sama saja artinya..)

Monday, February 10, 2014

POHON dan DAUN



Seperti pohon yang beranjak dewasa. Rumah ini tumbuh dengan akar yang menusuk tepat ke perut bumi dengan kuat. Sebab, kita dahulu menanam benih disini, di bumi manusia ini. Di mana setiap lantangan suara kita selalu bercerita tentang manusia dan persoalannya. Tak seperti lainnya yang hendak menanam benih di udara, berharap benih mengudara lantas ke langit. Tumbuh besar mengakar di sana. Namun sayang, benih mereka bertebaran kemana-mana tanpa arah yang jelas. Tapi, selayaknya pohon, pasti ada saja daunnya yang berguguran. Dedaunan itu gugur karena karena telah menua, atau karena tak mampu menahan hantaman alam. Hukum alam telah mensyaratkan semakin membesar sebuah pohon, maka semakin keras pula angin menerjang. Maka semakin banyak pula tantangan yang harus dia hadapi. Dedaunan yang lemah pada akhirnya akan gugur jua. Sebab dia tak mampu menahan gempuran alam. Pegangannya terhadap pohon terlampau lemah. Sehingga pada akhirnya pohon hanya bisa mengikhlaskan kepergiannya. Sebab satu daun yang gugur sama sekali tak sebanding dengan jutaan daun yang terus berpegang teguh pada sang pohon. Sementara sang daun yang berguguran hanya akan jadi sampah bagi bumi manusia. Mengotori, merusak pemandangan, dan hanya menjadi biang bagi penyakit.

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Friday, February 28, 2014

CERITA 30 TAHUN YANG LALU

#sebuah kisah diatas tanah kami…
Terik..
Matahari bersinar sangat cerah. Disini, diatas sepetak tanah yang memberiku kehidupan ini, sepetak sawah yang tak seberapa namun begitu berharga. Ku baringkan badanku diatas pondok kecil yang sengaja kubangun sebagai tempat beirstirahat di saat-saat seperti ini. Pikiranku menerawang. Disini, ditanah yang tak seberapa ini aku menyandar kehidupan di umur yang telah renta. Tanah yang tak seberapa, namun bukan hal mudah untuk mendapatkannya. Butuh perjuangan yang tidak mudah. Butuh kekuatan dan kesabaran untuk setidaknya mengambil tanah ini lagi, setelah sekian tahun terusir dan terasing, serta hidup miskin diatas tanah yang kaya ini. Ceritanya bermula 30 tahun yang lalu.
***

Monday, February 17, 2014

Malam Ini Begitu Dingin

Namaku Alessandro, umurku 22 tahun. Aku bekerja di sebuah kampus yang punya nama besar. Kampus dunia, demikian mereka menyebutnya. Kampus yang memiliki banyak professor yang tentu cerdas pikirku. Mahasiswanya kritis, pembela masyarakat kecil, itu ku anggap karena mahasiswa kampus ini selalu memadati jalan setiap harga BBM naik, atau ada isu korupsi pejabat Negara. Kampus yang katanya terbesar di Indonesia timur. Kalian jangan salah sangka, aku disini bekerja sebagai pemulung, pekerjaan yang menurutku cukup layak untuk orang yang tak pernah sekolah sepertiku. Kadang aku merasa iri, melihat merreka yang sebenarnya banyak yang seumuranku. Tapi apa hendak ku kata, telah demikianlah Tuhan menuliskan takdirku dalam lembar kehidupan. Aku hanya bisa bersabar, sebagaimana saran para ustadz saat aku mendengar khutbah jum’at. Kata mereka, Tuhan dekat dengan orang yang sabar.
***

Thursday, February 13, 2014

Lorong Hitam

Sesaat ketika akhirnya ku sadar..
Mata melotot..
Akhirnya semua lukisan hancur juga, yang tersisa di sisi kiri kanan hanya sebuah tembok keras tanpa cahaya. Belum lagi kaki melangkah, tubuh sudah gemetaran, keringat telah menderasi sekujur tubuh, suara sudah terhsak sebab tangis ketakutan tak juga tertahankan. Batal. Letak kaki ku rapikan kembali. Seketika tubuh terkulai juga, sebab ketakutan merampok semua energi yang tersisa. Ku peluk kedua kaki ku erat. Sangat erat. Gigilan badan semakin menjadi walau sebenarnya udara hanya bertiup sepoi. Mata ku pejamkan sekuat tenaga berharap mimpi kembali menjemput. Tapi kesadaran tak juga hendak berlalu dari badan ini, badan yang terperangkap dalam sebuah lorong hitam.

Tuesday, February 11, 2014

Haruskah Kita



#sebuah pandangan sederhana..
Jika kita miskin, haruskah kita menggerutu pada Tuhan???
Haruskah marah pada-Nya???
Mempertanyakan “takdir”-Nya yang sedemikian pedih. Saat kita kelaparaan, sebab saku pakaian tak juga berisikan uang. Melamun dalam kisah sendu penuh amarah pada-Nya. Saat kita menggigil dalam pesakitan di rumah-rumah kita (yang mungkin rumah itu adalah kolong jembatan layang) karena sakit sedang kita tak mampu membayar uang perawatan rumah sakit, bahkan tak sanggup untuk membeli obat sekalipun. Saat anak-anak kita tak mampu bersekolah karena uang SPP sekolahan yang mahal.
Haruskah mempersalahkan Tuhan???
Atau “takdir” Tuhan???
(pertanyaan yang menurutku sama saja artinya..)

Monday, February 10, 2014

POHON dan DAUN



Seperti pohon yang beranjak dewasa. Rumah ini tumbuh dengan akar yang menusuk tepat ke perut bumi dengan kuat. Sebab, kita dahulu menanam benih disini, di bumi manusia ini. Di mana setiap lantangan suara kita selalu bercerita tentang manusia dan persoalannya. Tak seperti lainnya yang hendak menanam benih di udara, berharap benih mengudara lantas ke langit. Tumbuh besar mengakar di sana. Namun sayang, benih mereka bertebaran kemana-mana tanpa arah yang jelas. Tapi, selayaknya pohon, pasti ada saja daunnya yang berguguran. Dedaunan itu gugur karena karena telah menua, atau karena tak mampu menahan hantaman alam. Hukum alam telah mensyaratkan semakin membesar sebuah pohon, maka semakin keras pula angin menerjang. Maka semakin banyak pula tantangan yang harus dia hadapi. Dedaunan yang lemah pada akhirnya akan gugur jua. Sebab dia tak mampu menahan gempuran alam. Pegangannya terhadap pohon terlampau lemah. Sehingga pada akhirnya pohon hanya bisa mengikhlaskan kepergiannya. Sebab satu daun yang gugur sama sekali tak sebanding dengan jutaan daun yang terus berpegang teguh pada sang pohon. Sementara sang daun yang berguguran hanya akan jadi sampah bagi bumi manusia. Mengotori, merusak pemandangan, dan hanya menjadi biang bagi penyakit.

Friday, February 28, 2014

CERITA 30 TAHUN YANG LALU

#sebuah kisah diatas tanah kami…
Terik..
Matahari bersinar sangat cerah. Disini, diatas sepetak tanah yang memberiku kehidupan ini, sepetak sawah yang tak seberapa namun begitu berharga. Ku baringkan badanku diatas pondok kecil yang sengaja kubangun sebagai tempat beirstirahat di saat-saat seperti ini. Pikiranku menerawang. Disini, ditanah yang tak seberapa ini aku menyandar kehidupan di umur yang telah renta. Tanah yang tak seberapa, namun bukan hal mudah untuk mendapatkannya. Butuh perjuangan yang tidak mudah. Butuh kekuatan dan kesabaran untuk setidaknya mengambil tanah ini lagi, setelah sekian tahun terusir dan terasing, serta hidup miskin diatas tanah yang kaya ini. Ceritanya bermula 30 tahun yang lalu.
***

Monday, February 17, 2014

Malam Ini Begitu Dingin

Namaku Alessandro, umurku 22 tahun. Aku bekerja di sebuah kampus yang punya nama besar. Kampus dunia, demikian mereka menyebutnya. Kampus yang memiliki banyak professor yang tentu cerdas pikirku. Mahasiswanya kritis, pembela masyarakat kecil, itu ku anggap karena mahasiswa kampus ini selalu memadati jalan setiap harga BBM naik, atau ada isu korupsi pejabat Negara. Kampus yang katanya terbesar di Indonesia timur. Kalian jangan salah sangka, aku disini bekerja sebagai pemulung, pekerjaan yang menurutku cukup layak untuk orang yang tak pernah sekolah sepertiku. Kadang aku merasa iri, melihat merreka yang sebenarnya banyak yang seumuranku. Tapi apa hendak ku kata, telah demikianlah Tuhan menuliskan takdirku dalam lembar kehidupan. Aku hanya bisa bersabar, sebagaimana saran para ustadz saat aku mendengar khutbah jum’at. Kata mereka, Tuhan dekat dengan orang yang sabar.
***

Thursday, February 13, 2014

Lorong Hitam

Sesaat ketika akhirnya ku sadar..
Mata melotot..
Akhirnya semua lukisan hancur juga, yang tersisa di sisi kiri kanan hanya sebuah tembok keras tanpa cahaya. Belum lagi kaki melangkah, tubuh sudah gemetaran, keringat telah menderasi sekujur tubuh, suara sudah terhsak sebab tangis ketakutan tak juga tertahankan. Batal. Letak kaki ku rapikan kembali. Seketika tubuh terkulai juga, sebab ketakutan merampok semua energi yang tersisa. Ku peluk kedua kaki ku erat. Sangat erat. Gigilan badan semakin menjadi walau sebenarnya udara hanya bertiup sepoi. Mata ku pejamkan sekuat tenaga berharap mimpi kembali menjemput. Tapi kesadaran tak juga hendak berlalu dari badan ini, badan yang terperangkap dalam sebuah lorong hitam.

Tuesday, February 11, 2014

Haruskah Kita



#sebuah pandangan sederhana..
Jika kita miskin, haruskah kita menggerutu pada Tuhan???
Haruskah marah pada-Nya???
Mempertanyakan “takdir”-Nya yang sedemikian pedih. Saat kita kelaparaan, sebab saku pakaian tak juga berisikan uang. Melamun dalam kisah sendu penuh amarah pada-Nya. Saat kita menggigil dalam pesakitan di rumah-rumah kita (yang mungkin rumah itu adalah kolong jembatan layang) karena sakit sedang kita tak mampu membayar uang perawatan rumah sakit, bahkan tak sanggup untuk membeli obat sekalipun. Saat anak-anak kita tak mampu bersekolah karena uang SPP sekolahan yang mahal.
Haruskah mempersalahkan Tuhan???
Atau “takdir” Tuhan???
(pertanyaan yang menurutku sama saja artinya..)

Monday, February 10, 2014

POHON dan DAUN



Seperti pohon yang beranjak dewasa. Rumah ini tumbuh dengan akar yang menusuk tepat ke perut bumi dengan kuat. Sebab, kita dahulu menanam benih disini, di bumi manusia ini. Di mana setiap lantangan suara kita selalu bercerita tentang manusia dan persoalannya. Tak seperti lainnya yang hendak menanam benih di udara, berharap benih mengudara lantas ke langit. Tumbuh besar mengakar di sana. Namun sayang, benih mereka bertebaran kemana-mana tanpa arah yang jelas. Tapi, selayaknya pohon, pasti ada saja daunnya yang berguguran. Dedaunan itu gugur karena karena telah menua, atau karena tak mampu menahan hantaman alam. Hukum alam telah mensyaratkan semakin membesar sebuah pohon, maka semakin keras pula angin menerjang. Maka semakin banyak pula tantangan yang harus dia hadapi. Dedaunan yang lemah pada akhirnya akan gugur jua. Sebab dia tak mampu menahan gempuran alam. Pegangannya terhadap pohon terlampau lemah. Sehingga pada akhirnya pohon hanya bisa mengikhlaskan kepergiannya. Sebab satu daun yang gugur sama sekali tak sebanding dengan jutaan daun yang terus berpegang teguh pada sang pohon. Sementara sang daun yang berguguran hanya akan jadi sampah bagi bumi manusia. Mengotori, merusak pemandangan, dan hanya menjadi biang bagi penyakit.