Monday, February 17, 2014
Home »
kisah hidup
» Malam Ini Begitu Dingin
Malam Ini Begitu Dingin
Namaku Alessandro, umurku 22 tahun. Aku bekerja di sebuah kampus yang
punya nama besar. Kampus dunia, demikian mereka menyebutnya. Kampus yang
memiliki banyak professor yang tentu cerdas pikirku. Mahasiswanya kritis,
pembela masyarakat kecil, itu ku anggap karena mahasiswa kampus ini selalu
memadati jalan setiap harga BBM naik, atau ada isu korupsi pejabat Negara.
Kampus yang katanya terbesar di Indonesia timur. Kalian jangan salah sangka,
aku disini bekerja sebagai pemulung, pekerjaan yang menurutku cukup layak untuk
orang yang tak pernah sekolah sepertiku. Kadang aku merasa iri, melihat merreka
yang sebenarnya banyak yang seumuranku. Tapi apa hendak ku kata, telah
demikianlah Tuhan menuliskan takdirku dalam lembar kehidupan. Aku hanya bisa
bersabar, sebagaimana saran para ustadz saat aku mendengar khutbah jum’at. Kata
mereka, Tuhan dekat dengan orang yang sabar.
***
Gubuk ini serasa gontai, tergoyang-goyang serta bunyi sana sini.
Serasa hendak rubuh. Apakah badan yang seorang ini terasa sedemikian berat bagi
gubuk ini?? Atau, mungkin gubuk ini yang memang terlalu tua dan lemah untukku??
Entahlah, ku buang semua kegusaran yang menyebalkan ini. Ku pejamkan
kembali mataku, memaksanya lelap dengan segala cara. “aku masih beruntung mempunyai
gubuk ini, setidaknya masih banyak manusia-manusia yang tak bergubuk apalagi
berumah”, kata hatiku mencoba mendamaikan suasana. Demikian malam-malamku ku
lalui. Tak hanya bercerita tentang kegelapan, kedinginan, atau nyanyian nyamuk
yang terasa menyebalkan, tapi juga goyang gubukku ini.
***
Seperti biasa, hari ini ku lalui di kampus Ayam Jantan ini. Menyusuri
setiap lorong mencari gelas-gelas minuman mineral untuk ku jual. Barang yang
mungkin tak begitu berharga bagi para mahasiswa atau dosen kampus ini.
Buktinya, setelah mereka teguk air mineralnya, gelasnya mereka buang di tempat
mana saja yang mereka mau. Mereka tak peduli betapa kotor pandangan mata dengan
sampah-sampah yang bertebaran akibat gelas mineral mereka. Mungkin, mereka
beranggapan masih ada cleaning service
yang membersihkan, karena memang itu tugasnya. Huhhh…seandainya seluruh
mahasiswa kampus ini sedemikian rupa. Yakin saja kampus ini akan jadi seperti
tempat pembuangan akhir.
Menjelang siang hari, saat adzan bertalu kencang di mushallah-mushallah
yang banyak bertebaran di kampus, ku susur sebuah lorong kecil yang gelap di
Fakultas Ilmu Pasti. Lorong yang demikian ramai, tapi tak terasa mataku tertuju
pada sesosok hawa yang anggun. Jilbab yang mengulur hingga dadanya, langkahnya
yang menurutku sedemikian tak biasa.
“arrrggghhhhh…!!!! Apa pula kau mata..!!!! Apa pula kau hati..!!! Tak
beretika..!!! Tak tahu diri..!!!”, ku coba kuasai diriku dan menindas perasaan
yang luar biasa ini. Kulanjutkan langkahku menuju lorong-lorong lainnya, dengan
perasaaan yang kehilangan ketenteramannya, dengan hati yang kacau balau
terbongkar keanggunan seorang gadis dengan jilbab yang mengulur hingga
dadanya. Ahhh, sekian kali ku lindas,
sekian kali pula ia memberontak. Dia bisa diibaratkan para mahasiswa itu, yang
terus menerus berdemo dan memberontak membawa aspirasi rakyat yang ditindas,
dan akulah penindas itu. Kejam, sadis, tapi aku harus tahu diri. Tak layak
seorang yang cerdas, memiliki masa depan gilang gemilang, beriman (setidanya
menurutku dari penampilannya), bersih (lagi-lagi ku nilai dari penampilanya),
hendak mau pada seorang yang tidak pernah sekolah, tidak bermasa depan, kadar
imannya rendah, dan pekerjaannya berkalang sampah ini. Bahkan mungkin, dalam
mimpi pun tak layak, teralu tidak tahu diri. Karena bagiku kita bukan pemeran
film yang biasa tak sengaja ku tonton di beberapa kantin yang memiliki
televisi, dimana seorang petugas sampah bisa saja menjadi pacar seorang kaya
raya yang tiap hari dia sapu halaman depan pagar rumahnya. Itu hanya ada dalam
imajinasi penulis cerita film itu, tak ada dalam dunia nyata ini. Sekian
keyakinan terus ku pupuk untuk melindas habis rasa yang konyol ini. Hanya ada
sedikit sesal dalam hati, betapa dunia ini sedemikian kejam melahirkan manusia
dengan tingkatan status sosial dan menempatkannya sebagai bahan penilaian
utama, ada yang kaya dan ada yang miskin. Yang kaya hanya layak dengan yang
kaya, demikian pun yang miskin.
***
Kembali malam ini ku lalui di gubuk tuaku. Menikmati malam dalam
nyanyian semesta. Menyejukkan diri dengan peluk dingin. Tapi, malam mini
berbeda. Gontai gubuk ini terasa sangat keterlaluan malam ini. Dingin malam ini
terasa lebih menusuk. Tulang-tulang ku terasa beku. Sesaat imajinasiku
berkeliaran dan akhirnya ku temu lagi bayangan sesosok hawa yang membuat diri
serasa ciut. Wajah yang mendamaikan pandangan, tatapan mata yang meneduhkan
hati. Tapi imajinasi ini benar-benar membuatku ciut. Bukan karena ketakutan
untuk ditolak sebagaimana yang membuat sedemikian banyak pemuda (bahkan mungkin
sekarang juga anak kecil, lihat saja coboy junior, boyband anak-anak yang
lagunya sudah cinta-cintaan), tapi karena lindasan kenyataan yang menempatkan
kami pada tingkatan sosial yang berbeda. Tingkatan yang aku tak tahu lahir dari
mana, sedang yang ku tahu, kita semua terlahir sebagai manusia yang sama,
dengan cara yang sama. Lantas kemudian keadaan dunia inilah yang menempatkan
kita semua jadi berbeda tingkatan. Jadi menurutku, sangat tidak adil jika
menyalahkan takdir Tuhan. Begitu juga dengan kata-kata pemerintah, yang bilang
ini semua lahir karena kami yang miskin ini adalah orang yang malas dan bodoh.
Malas katanya??!!! Apakah malas itu digambarkan dengan kebiasaan bangun
pagi-pagi buta dan langsung bersiap diri menelusur lorong-lorong untuk memungut
sampah demi sesuap nasi yang harganya sedemikian mahal??!!! Bodoh katanya???!!!
Yah, memang kami bodoh, kami tak bersekolah. Tapi apakah dosa kami jika kami
tak bersekolah karena kami tak mampu membayar uang sekolah yang sedemikian
mahal???!!! Uang sekolahnya, baju-baju seragamnya, buku-bukunya, apakah dosa
jika kami tak bersekolah karena tak mampu membayar itu semua???!!!
Arrggghhhh..
Sedemikian cara ku gunakan hanya untuk melindas rasa yang tidak tahu
diri ini. Rasa yang merongrong hati, menggerogoti setiap hembusan nafas. Nafas
yang sudah cukup terengah mencari makan di negeri yang kaya namun pelit ini.
Dan malam ini mataku tak dapat terpejam. Malam ini terasa lebih dingin.
Imajinasi terus mengembara sampai kokok ayam tiba pagi ini.
Monday, February 17, 2014
Malam Ini Begitu Dingin
Namaku Alessandro, umurku 22 tahun. Aku bekerja di sebuah kampus yang
punya nama besar. Kampus dunia, demikian mereka menyebutnya. Kampus yang
memiliki banyak professor yang tentu cerdas pikirku. Mahasiswanya kritis,
pembela masyarakat kecil, itu ku anggap karena mahasiswa kampus ini selalu
memadati jalan setiap harga BBM naik, atau ada isu korupsi pejabat Negara.
Kampus yang katanya terbesar di Indonesia timur. Kalian jangan salah sangka,
aku disini bekerja sebagai pemulung, pekerjaan yang menurutku cukup layak untuk
orang yang tak pernah sekolah sepertiku. Kadang aku merasa iri, melihat merreka
yang sebenarnya banyak yang seumuranku. Tapi apa hendak ku kata, telah
demikianlah Tuhan menuliskan takdirku dalam lembar kehidupan. Aku hanya bisa
bersabar, sebagaimana saran para ustadz saat aku mendengar khutbah jum’at. Kata
mereka, Tuhan dekat dengan orang yang sabar.
***
Gubuk ini serasa gontai, tergoyang-goyang serta bunyi sana sini.
Serasa hendak rubuh. Apakah badan yang seorang ini terasa sedemikian berat bagi
gubuk ini?? Atau, mungkin gubuk ini yang memang terlalu tua dan lemah untukku??
Entahlah, ku buang semua kegusaran yang menyebalkan ini. Ku pejamkan
kembali mataku, memaksanya lelap dengan segala cara. “aku masih beruntung mempunyai
gubuk ini, setidaknya masih banyak manusia-manusia yang tak bergubuk apalagi
berumah”, kata hatiku mencoba mendamaikan suasana. Demikian malam-malamku ku
lalui. Tak hanya bercerita tentang kegelapan, kedinginan, atau nyanyian nyamuk
yang terasa menyebalkan, tapi juga goyang gubukku ini.
***
Seperti biasa, hari ini ku lalui di kampus Ayam Jantan ini. Menyusuri
setiap lorong mencari gelas-gelas minuman mineral untuk ku jual. Barang yang
mungkin tak begitu berharga bagi para mahasiswa atau dosen kampus ini.
Buktinya, setelah mereka teguk air mineralnya, gelasnya mereka buang di tempat
mana saja yang mereka mau. Mereka tak peduli betapa kotor pandangan mata dengan
sampah-sampah yang bertebaran akibat gelas mineral mereka. Mungkin, mereka
beranggapan masih ada cleaning service
yang membersihkan, karena memang itu tugasnya. Huhhh…seandainya seluruh
mahasiswa kampus ini sedemikian rupa. Yakin saja kampus ini akan jadi seperti
tempat pembuangan akhir.
Menjelang siang hari, saat adzan bertalu kencang di mushallah-mushallah
yang banyak bertebaran di kampus, ku susur sebuah lorong kecil yang gelap di
Fakultas Ilmu Pasti. Lorong yang demikian ramai, tapi tak terasa mataku tertuju
pada sesosok hawa yang anggun. Jilbab yang mengulur hingga dadanya, langkahnya
yang menurutku sedemikian tak biasa.
“arrrggghhhhh…!!!! Apa pula kau mata..!!!! Apa pula kau hati..!!! Tak
beretika..!!! Tak tahu diri..!!!”, ku coba kuasai diriku dan menindas perasaan
yang luar biasa ini. Kulanjutkan langkahku menuju lorong-lorong lainnya, dengan
perasaaan yang kehilangan ketenteramannya, dengan hati yang kacau balau
terbongkar keanggunan seorang gadis dengan jilbab yang mengulur hingga
dadanya. Ahhh, sekian kali ku lindas,
sekian kali pula ia memberontak. Dia bisa diibaratkan para mahasiswa itu, yang
terus menerus berdemo dan memberontak membawa aspirasi rakyat yang ditindas,
dan akulah penindas itu. Kejam, sadis, tapi aku harus tahu diri. Tak layak
seorang yang cerdas, memiliki masa depan gilang gemilang, beriman (setidanya
menurutku dari penampilannya), bersih (lagi-lagi ku nilai dari penampilanya),
hendak mau pada seorang yang tidak pernah sekolah, tidak bermasa depan, kadar
imannya rendah, dan pekerjaannya berkalang sampah ini. Bahkan mungkin, dalam
mimpi pun tak layak, teralu tidak tahu diri. Karena bagiku kita bukan pemeran
film yang biasa tak sengaja ku tonton di beberapa kantin yang memiliki
televisi, dimana seorang petugas sampah bisa saja menjadi pacar seorang kaya
raya yang tiap hari dia sapu halaman depan pagar rumahnya. Itu hanya ada dalam
imajinasi penulis cerita film itu, tak ada dalam dunia nyata ini. Sekian
keyakinan terus ku pupuk untuk melindas habis rasa yang konyol ini. Hanya ada
sedikit sesal dalam hati, betapa dunia ini sedemikian kejam melahirkan manusia
dengan tingkatan status sosial dan menempatkannya sebagai bahan penilaian
utama, ada yang kaya dan ada yang miskin. Yang kaya hanya layak dengan yang
kaya, demikian pun yang miskin.
***
Kembali malam ini ku lalui di gubuk tuaku. Menikmati malam dalam
nyanyian semesta. Menyejukkan diri dengan peluk dingin. Tapi, malam mini
berbeda. Gontai gubuk ini terasa sangat keterlaluan malam ini. Dingin malam ini
terasa lebih menusuk. Tulang-tulang ku terasa beku. Sesaat imajinasiku
berkeliaran dan akhirnya ku temu lagi bayangan sesosok hawa yang membuat diri
serasa ciut. Wajah yang mendamaikan pandangan, tatapan mata yang meneduhkan
hati. Tapi imajinasi ini benar-benar membuatku ciut. Bukan karena ketakutan
untuk ditolak sebagaimana yang membuat sedemikian banyak pemuda (bahkan mungkin
sekarang juga anak kecil, lihat saja coboy junior, boyband anak-anak yang
lagunya sudah cinta-cintaan), tapi karena lindasan kenyataan yang menempatkan
kami pada tingkatan sosial yang berbeda. Tingkatan yang aku tak tahu lahir dari
mana, sedang yang ku tahu, kita semua terlahir sebagai manusia yang sama,
dengan cara yang sama. Lantas kemudian keadaan dunia inilah yang menempatkan
kita semua jadi berbeda tingkatan. Jadi menurutku, sangat tidak adil jika
menyalahkan takdir Tuhan. Begitu juga dengan kata-kata pemerintah, yang bilang
ini semua lahir karena kami yang miskin ini adalah orang yang malas dan bodoh.
Malas katanya??!!! Apakah malas itu digambarkan dengan kebiasaan bangun
pagi-pagi buta dan langsung bersiap diri menelusur lorong-lorong untuk memungut
sampah demi sesuap nasi yang harganya sedemikian mahal??!!! Bodoh katanya???!!!
Yah, memang kami bodoh, kami tak bersekolah. Tapi apakah dosa kami jika kami
tak bersekolah karena kami tak mampu membayar uang sekolah yang sedemikian
mahal???!!! Uang sekolahnya, baju-baju seragamnya, buku-bukunya, apakah dosa
jika kami tak bersekolah karena tak mampu membayar itu semua???!!!
Arrggghhhh..
Sedemikian cara ku gunakan hanya untuk melindas rasa yang tidak tahu
diri ini. Rasa yang merongrong hati, menggerogoti setiap hembusan nafas. Nafas
yang sudah cukup terengah mencari makan di negeri yang kaya namun pelit ini.
Dan malam ini mataku tak dapat terpejam. Malam ini terasa lebih dingin.
Imajinasi terus mengembara sampai kokok ayam tiba pagi ini.
3 comments:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Monday, February 17, 2014
Malam Ini Begitu Dingin
Namaku Alessandro, umurku 22 tahun. Aku bekerja di sebuah kampus yang
punya nama besar. Kampus dunia, demikian mereka menyebutnya. Kampus yang
memiliki banyak professor yang tentu cerdas pikirku. Mahasiswanya kritis,
pembela masyarakat kecil, itu ku anggap karena mahasiswa kampus ini selalu
memadati jalan setiap harga BBM naik, atau ada isu korupsi pejabat Negara.
Kampus yang katanya terbesar di Indonesia timur. Kalian jangan salah sangka,
aku disini bekerja sebagai pemulung, pekerjaan yang menurutku cukup layak untuk
orang yang tak pernah sekolah sepertiku. Kadang aku merasa iri, melihat merreka
yang sebenarnya banyak yang seumuranku. Tapi apa hendak ku kata, telah
demikianlah Tuhan menuliskan takdirku dalam lembar kehidupan. Aku hanya bisa
bersabar, sebagaimana saran para ustadz saat aku mendengar khutbah jum’at. Kata
mereka, Tuhan dekat dengan orang yang sabar.
***
Gubuk ini serasa gontai, tergoyang-goyang serta bunyi sana sini.
Serasa hendak rubuh. Apakah badan yang seorang ini terasa sedemikian berat bagi
gubuk ini?? Atau, mungkin gubuk ini yang memang terlalu tua dan lemah untukku??
Entahlah, ku buang semua kegusaran yang menyebalkan ini. Ku pejamkan
kembali mataku, memaksanya lelap dengan segala cara. “aku masih beruntung mempunyai
gubuk ini, setidaknya masih banyak manusia-manusia yang tak bergubuk apalagi
berumah”, kata hatiku mencoba mendamaikan suasana. Demikian malam-malamku ku
lalui. Tak hanya bercerita tentang kegelapan, kedinginan, atau nyanyian nyamuk
yang terasa menyebalkan, tapi juga goyang gubukku ini.
***
Seperti biasa, hari ini ku lalui di kampus Ayam Jantan ini. Menyusuri
setiap lorong mencari gelas-gelas minuman mineral untuk ku jual. Barang yang
mungkin tak begitu berharga bagi para mahasiswa atau dosen kampus ini.
Buktinya, setelah mereka teguk air mineralnya, gelasnya mereka buang di tempat
mana saja yang mereka mau. Mereka tak peduli betapa kotor pandangan mata dengan
sampah-sampah yang bertebaran akibat gelas mineral mereka. Mungkin, mereka
beranggapan masih ada cleaning service
yang membersihkan, karena memang itu tugasnya. Huhhh…seandainya seluruh
mahasiswa kampus ini sedemikian rupa. Yakin saja kampus ini akan jadi seperti
tempat pembuangan akhir.
Menjelang siang hari, saat adzan bertalu kencang di mushallah-mushallah
yang banyak bertebaran di kampus, ku susur sebuah lorong kecil yang gelap di
Fakultas Ilmu Pasti. Lorong yang demikian ramai, tapi tak terasa mataku tertuju
pada sesosok hawa yang anggun. Jilbab yang mengulur hingga dadanya, langkahnya
yang menurutku sedemikian tak biasa.
“arrrggghhhhh…!!!! Apa pula kau mata..!!!! Apa pula kau hati..!!! Tak
beretika..!!! Tak tahu diri..!!!”, ku coba kuasai diriku dan menindas perasaan
yang luar biasa ini. Kulanjutkan langkahku menuju lorong-lorong lainnya, dengan
perasaaan yang kehilangan ketenteramannya, dengan hati yang kacau balau
terbongkar keanggunan seorang gadis dengan jilbab yang mengulur hingga
dadanya. Ahhh, sekian kali ku lindas,
sekian kali pula ia memberontak. Dia bisa diibaratkan para mahasiswa itu, yang
terus menerus berdemo dan memberontak membawa aspirasi rakyat yang ditindas,
dan akulah penindas itu. Kejam, sadis, tapi aku harus tahu diri. Tak layak
seorang yang cerdas, memiliki masa depan gilang gemilang, beriman (setidanya
menurutku dari penampilannya), bersih (lagi-lagi ku nilai dari penampilanya),
hendak mau pada seorang yang tidak pernah sekolah, tidak bermasa depan, kadar
imannya rendah, dan pekerjaannya berkalang sampah ini. Bahkan mungkin, dalam
mimpi pun tak layak, teralu tidak tahu diri. Karena bagiku kita bukan pemeran
film yang biasa tak sengaja ku tonton di beberapa kantin yang memiliki
televisi, dimana seorang petugas sampah bisa saja menjadi pacar seorang kaya
raya yang tiap hari dia sapu halaman depan pagar rumahnya. Itu hanya ada dalam
imajinasi penulis cerita film itu, tak ada dalam dunia nyata ini. Sekian
keyakinan terus ku pupuk untuk melindas habis rasa yang konyol ini. Hanya ada
sedikit sesal dalam hati, betapa dunia ini sedemikian kejam melahirkan manusia
dengan tingkatan status sosial dan menempatkannya sebagai bahan penilaian
utama, ada yang kaya dan ada yang miskin. Yang kaya hanya layak dengan yang
kaya, demikian pun yang miskin.
***
Kembali malam ini ku lalui di gubuk tuaku. Menikmati malam dalam
nyanyian semesta. Menyejukkan diri dengan peluk dingin. Tapi, malam mini
berbeda. Gontai gubuk ini terasa sangat keterlaluan malam ini. Dingin malam ini
terasa lebih menusuk. Tulang-tulang ku terasa beku. Sesaat imajinasiku
berkeliaran dan akhirnya ku temu lagi bayangan sesosok hawa yang membuat diri
serasa ciut. Wajah yang mendamaikan pandangan, tatapan mata yang meneduhkan
hati. Tapi imajinasi ini benar-benar membuatku ciut. Bukan karena ketakutan
untuk ditolak sebagaimana yang membuat sedemikian banyak pemuda (bahkan mungkin
sekarang juga anak kecil, lihat saja coboy junior, boyband anak-anak yang
lagunya sudah cinta-cintaan), tapi karena lindasan kenyataan yang menempatkan
kami pada tingkatan sosial yang berbeda. Tingkatan yang aku tak tahu lahir dari
mana, sedang yang ku tahu, kita semua terlahir sebagai manusia yang sama,
dengan cara yang sama. Lantas kemudian keadaan dunia inilah yang menempatkan
kita semua jadi berbeda tingkatan. Jadi menurutku, sangat tidak adil jika
menyalahkan takdir Tuhan. Begitu juga dengan kata-kata pemerintah, yang bilang
ini semua lahir karena kami yang miskin ini adalah orang yang malas dan bodoh.
Malas katanya??!!! Apakah malas itu digambarkan dengan kebiasaan bangun
pagi-pagi buta dan langsung bersiap diri menelusur lorong-lorong untuk memungut
sampah demi sesuap nasi yang harganya sedemikian mahal??!!! Bodoh katanya???!!!
Yah, memang kami bodoh, kami tak bersekolah. Tapi apakah dosa kami jika kami
tak bersekolah karena kami tak mampu membayar uang sekolah yang sedemikian
mahal???!!! Uang sekolahnya, baju-baju seragamnya, buku-bukunya, apakah dosa
jika kami tak bersekolah karena tak mampu membayar itu semua???!!!
Arrggghhhh..
Sedemikian cara ku gunakan hanya untuk melindas rasa yang tidak tahu
diri ini. Rasa yang merongrong hati, menggerogoti setiap hembusan nafas. Nafas
yang sudah cukup terengah mencari makan di negeri yang kaya namun pelit ini.
Dan malam ini mataku tak dapat terpejam. Malam ini terasa lebih dingin.
Imajinasi terus mengembara sampai kokok ayam tiba pagi ini.
3 comments:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
wah aku kira lebih bercerita ttg hubungan posisi pemulung dgn aktivis. hehhe
ReplyDeleteGaya tuturnya nampak dipengaruhi mbah Pram ya?
ReplyDeleteSekedar komentar bang, dari paragraf ke-dua dari terakhir itu bisa jadi satu cerita (bukan sekedar monolog) yang menarik. Saya request itu ;-)
kholik,cinta itu cumabumbu2nya aja..
ReplyDeletebiar gak hambar..hehehhe
bang sunkar,jelaslah terpengaruh,jelas2 bacaanku sebagian besar itukok, hehehhe..
diusahakan bang, ntar di coba2 lagi..
makasih sarannya...